Diskusi Perpajakan, Membedakan Konotasi Memaksimalkan Dengan Mengoptimalkan

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com – Petrus Loyani and Partner menggelar Diskusi Perpajakan menyangkut revitalisasi fungsi budgeter pajak untuk APBN dan implikasinya terhadap Rahasia Bank Pembayar Pajak. Dalam paparannya, Ia pun menyatakan pajak tidak boleh liar, dimana pendapatan negara menurun sebesar Rp14,22 triliun dari Rp1.750,28 triliun menjadi Rp1.736,06 triliun pada APBN 2017.
“Pada era paska tax amnesty atau pada paska masa pengampunan pajak 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017, Indonesia tengah gencarnya mengggenjot penerimaan pajak dengan merevitalisasi fungsi budgeter pajak,” tegas Petrus, Jum’at malam (25/8/2017) di Hotel Ibis, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta.
Lebih lanjut dijelaskan Petrus, yang berprofresi sebagai konsultan dan pengacara pajak, bahwa disebut merevitalisasi atau menggenjot penerimaan pajak bukan berarti memaksimalkan pajak, melainkan mengoptimalkan penerimaan. Hal ini menurutnya terjadi perbedaan konotasi memaksimalkan dan mengoptimalkan.
Memaksimalkan berarti pemerintah berusaha meraup pajak sebesar – besarnya dari segenap lapisan masyarakat tanpa memperhatikan gaya pikul dan kepatuhan (obedience) para pembayar pajak. Misalnya yang sudah melaporkan SPT dengan benar dan sudah ikut Tax Amnesty, seyogyanya tidak diobok – obok lagi.
“Mengoptimalkan berarti pemerintah berusaha menghimpun pajak dengan tepat sasaran secara efesien dan efektif dengan memenuhi tiga prinsip hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatkan bagi sebesar – besarnya rakyat sehingga baik subyek pajak, obyek pajaknya dan tarif pajak pas, adil, dan tepat sasaran,” imbuhnya.
Sayangnya penerimaan pajak masih seputar NPWP yang sudah ada, ibarat masih seputar di kebun binatang. Sedangkan penerimaan pajak dari NPWP yang baru, dianggapnya masih belum begitu signifikan. Hanya saja NPWP yang sudah ada masih banyak yang tidak transfaran. Oleh karena itu muncul Perppu No1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
“Perppu No1/2017 yang sudah menjadi UU No.1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, banyak menjelaskan soal kerahasiaan mengenai informasi keuangan atau saldo rekening nasabah,” jelasnya.
Masih dijelaskan Petrus, UU No.1/2017 intinya menerobos tentang rahasia bank, sebagaimana diatur dalam pasal 40 jo. Pasal 41 UU No.7/1992 yang telah diubah dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan. Namun dalam pasal 2 ayat 1, UU No.1/2017 itu, Dirjen Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Sedangkan pasal ayat 2, menyebutkan bahwa lembaga jasa keuangan wajib menyampaikan kepada Dirjen Pajak. Lanjutnya pada ayat 3, kewajiban merahasiakan saldo rekening nasabah, sudah tidak berlaku berlaku lagi dalam melaksanakan UU itu.
Sementara ditambahkan Konsultan Pajak, David Lesmana, SE., MBA bahwa munculnya UU No.1 tahun 2017, bukan berarti setelah Tax Amnesty muncul. Hal ini muncul setelah ada kesepakatan G20 pada delapan tahun silam, yakni Konvensi Internasional Negara G20, April 2019 yang menyatakan kerahasiaan bank untuk kepentingan perpajakan telah berakhir.
Juni 2015, Pemerintah Indonesia menandatangani Multilateral Component Authority Agreement (MCAA). Maka dari itu berdasarkan konvensi Internasional G20, Pemerintah menerbitkan Perppu No.1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, dan sudah ditetapkan UU No.1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. dedy mulyadi

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *