KPU Reduksi Hak Rakyat Mengetahui Isi Kepala Capres dan Cawapres

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Komisi Pemilihan Umum (KPU) mereduksi hak rakyat untuk mengetahui isi kepala capres dan cawapres dalam debat pilpres dengan menyiapkan pertanyaan dan membocorkan pertanyaan sebelum debat.

Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua MPR RI, Fahri Hamzah dalam diskusi ‘Menakar Efektivitas Debat Capres dalam Meraih Suara’, di Media Center DPR, Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (14/3).

“Jadi, saya menilai bahwa KPU telah mereduksi keinginan rakyat untuk mengetahui apa yang ada di dalam kepalanya kandidat calon presiden-wakil presiden, bukan kepalanya KPU, panelis atau kepalanya tenaga ahli dan staf yang diangkat oleh calon,” kata Fahri.

Seharusnya, ungkap politisi kelahiran Sumbawa 10 Nopember 1971 itu, debat capres-cawapres yang bakal maju pada perebutan kursi orang nomor satu di Indonesia pilpres ini adalah ajang rakyat atau pemilih untuk mengetahui apa yang ada di dalam pikiran para kandidat.

“Jadi, menurut saya, KPU telah mereduksi hak rakyat untuk mengetahui isi kepala capres dan cawapres yang bakal dipilihnya pada pemilihan presiden mendatang. Setelah kita kritik dikurangi, pertanyaan tidak dibocorkan, soal tetap dibuat oleh panelis,” ulang Fahri.

Untuk debat Pilpres ke depan, wakil rakyat dari Dapil Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini mengusulkan, KPU maupun panelis tidak perlu lagi membuat soal atau pertanyaan beberapa hari sebelum debat.

Yang perlu, kata politisi sekaligus deklarator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, baik KPU maupun panelis hanya menyiapkan tema dan meminta kandidat untuk berdebat sesuai tema.

Selain itu, KPU maupun panelis membiar para kandidat capres-cawapres bertanya dari hulu sampai hilir terhadap berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini dan apa solusi yang ditawarkan para kandidat untuk mengatasi persoalan tersebut.

Kalau sistem debat tetap seperti yang sebelumnya, Fahri tidak melihat perdebatan itu akan substantif dan hanya akan seperti seremonial saja. Seharusnya kandidat atau capres dan cawapres yang mengidentifikasi persoalan, bukan panelis.

Kalau debat pilpres masih seperti itu, menurut Fahri, KPU mereduksi hak rakyat untuk mengetahui keseluruhan isi kepala dari kandidat. Kalau kemarin itu kan yang aduh tarung bebas itu cuman satu sesi.

“Mudah-mudahan ditambahi dua dan berikutnya lagi ditambah jadi tiga. Kalau bisa di debat yang kelima nggak perlu ada pertanyaan lagi, kasih aja kisi-kisinya biar mereka bertempur,” ujar Fahri.

Pada kesempatan serupa, pengamat politik CSIS, Arya Fernandes menilai, dua kali debat yang sudah dilaksanakan, ekspektasi publik terhadap debat itu tinggi.

Bila dilihat jumlah publikasi hasil survei, ada sekitar 50 sampai 55 persen masyarakat yang mempunyai hak pilih menyaksikan debat kandidat presiden-wakil presiden itu melalui layar kaca. Bahkan hampir semua dari mereka menonton debat dan hampir semuanya menyaksikan sampai terakhir debat.

“Kita bisa bayangkan pada hari yang sama dan jam yang sama separuh dari populasi kita menyaksikan debat. Namun, apa yang terjadi, ekspektasi publik yang tinggi itu tidak terpenuhi dengan baik. Baik pada debat pertama maupun debat kedua,” kata Arya.

Indikasinya adalah ekspektasi nonton debat tinggi tetapi ketika dilihat dalam hasil survei pengaruhnya kecil. Artinya debat tidak mampu mempengaruhi pilihan orang, terutama orang-orang yang belum menentukan pilihannya.

“Harusnya, idealnya debat itu tentu bisa menjadi referensi utama bagi publik untuk menentukan pilihan sehingga dia betul-betul mantap untuk memilih, apalagi pemilu kita hanya tinggal 30 hari lagi,” demikian Arya Fernandes. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *