PKS: Saatnya Pemerintah Reformasi Tata Kelola Pajak Minerba

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Merebaknya dugaan gratifikasi di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait dengan Batubara yang nilainya puluhan miliar menjadi momentum tepat buat Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperbaiki tata kelola perpajakan khususnya subsektor Minerba.

“Ini wilayah basah Kalau tidak dibongkar dan diperbaiki potensi penerimaan negara akan banyak hilang. Padahal di tengah pandemi pengeluaran APBN meningkat tajam. Suapnya saja sudah puluhan milyar, pasti kasus pajaknya sangat besar,” ujar Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto.

Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Perindustrian dan Pembangunan itu meminta Otoritas pajak perlu meningkatkan jumlah, basis data, kepatuhan serta menyempurnakan aturan dan pengawasan pajak.

“Perlu gebrakan dan program yang inovatif untuk mengelola perpajakan di subsektor Minerba ini. Sayang kalau potensi ini tidak tergali di tengah defisit APBN yang tinggi karena pandemi Covid-19,” tegas Mulyanto.

Ditambahkan, potensi pajak dari subsektor minerba ini sangat penting karena termasuk dalam salah satu dari empat sektor potensial penerimaan pajak selain jasa keuangan, industri rokok, dan perdagangan non-otomotif.

Data dari Dirjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), 2017 pajak yang masuk dari subsektor ini Rp 31,6 triliun. Tahun berikutnya meningkat menjadi Rp 39,7 triliun. Terjadi penurunan di 2019 menjadi Rp 36.3 triliun sesuai fluktuasi harga batubara.

Selain pajak, dari subsektor ini juga diperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang bahkan nilainya lebih tinggi sekitar 25 persen dari penerimaan pajak. PNBP Minerba pada 2017 Rp 40,6 triliun, meningkat 2018 menjadi Rp 49,6 triliun. Terjadi penurunan 2019 menjadi Rp 44,9 triliun.

Berdasarkan perhitungan Ditjen Pajak, tax gap di Indonesia diperkirakan sekitar 20 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Ini angka yang sangat besar. Untuk subsektor Minerba hal tersebut ditengarai disebabkan, karena: Pertama, perusahaan belum memiliki izin usaha atau memiliki izin usaha namun tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Kedua, perusahaan membuat laporan hasil tambang per bulan yang tidak sesuai dengan realisasi. Ketiga, tidak sedikit pula perusahaan yang melaporkan SPT dengan benar namun merupakan hasil dari penghindaran pajak.

Beberapa studi memperlihatkan, adanya selisih antara catatan ekspor yang ada di pelabuhan Indonesia dengan catatan ekspor di luar negeri. Artinya, terjadi pengurangan besaran angka yang menjadi dasar hitungan pajak.

Persoalan lain yang acapkali terjadi adalah sengketa apakah batubara sebagai Barang Kena Pajak (BKP) atau bukan sebagai BKP, karena Peraturan Pemerintah No: 144/2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN menyebutkan, Batubara bukan merupakan BKP.

Dengan diundangkannya UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang diatur dalam pasal 112, batu bara adalah BKP dan mestinya ini dapat diselesaikan.
Karena itu, sekarang adalah saat yang tepat bagi Pemerintah untuk mereformasi tata kelola perpajakan terkait dengan subsektor Minerba. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait