RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Harus Akomodir Kepentingan Umat

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI berharap Rancangan Undang Undang (RUU) Pesantren&Pendidikan Keagamaan yang tengah disusun DPR RI memperhatikan kepentingan umat dengan mengedepankan akhlak mulia, penghapusan diskriminasi antar pendidikan swasta dengan pendidikan negeri.

“RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan mencoba menjadi jawaban atas kegusaran yang berkecimpung dunia pendidikan keagamaan,” kata Wakil Ketua Komite III DPD RI, Novita Anakotta saat RDP tentang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan di Gedung DPD RI Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (29/1).

Novita menjelaskan, dalam konteks konstitusional UU No: 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional masih memiliki permasalahan. Dari sisi substansi, UU itu mengalami pembaharuan berupa pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia, penghapusan diskriminasi antar pendidikan yang dikelola pemerintah dengan pendidikan yang dikelola masyarakat.

“Memamng UU ini telah mengakomodir pendidikan keagamaan. Namun, pada kenyataannya masih banyak lembaga pendidikan keagamaan yang belum merasakan kehadiran pemerintah baik formal maupun nonformal,” cetus senator asal Maluku Utara itu.

Melalui metode berbasis pendekatan keagamanaan, perempuan kelahiran Ambon, 21 Nopember 1974 ini berharap hal itu bisa menambah keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia manusia Indonesia.

Hal Ini juga mampu menjaga kerukunan hubungan antar dan inter umat beragama. “Dalam sistem ini, peserta didik mampu memahami dan menghayati nilai agama yang harmoni dengan penguasaan ilmu pengetahuan teknologi dan seni,” papar wanita berkulit hitam ini.

Pada kesempatan serupa, Anggota Komite III DPD RI dari Dapil Provinsi DKI Jakarta, Abdul Azis Khafia mengaku setuju dengan adanya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Menurut dia, memang perlu ada kesetaraan pendidikan agama di Indonesia. “Jangan ada lagi ada dikotomi pendidikan agama. Namun, sampai saat ini belum ada pembahasan yang utuh antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan mengenai hal ini,” tegas dia.

Sementara itu, Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Thomas Pentury beranggapan, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan memiliki kecenderungan membirokrasikan pendidikan nonformal.
Khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang dilakukan sejak lama oleh gereja di Indonesia. “Gereja khawatir RUU ini menjadi model intervensi Negara terhadap agama,” jelas dia

Menurut Thomas, pada dasarnya gereja mendukung RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sejauh hanya mengatur pendidikan formal. Serta, tidak memasukkan pengaturan model pelayanan pendidikan nonformal gereja-gereja di Indonesia seperti pelayanan kategorial anak dan remaja.

“Kami mengusulkan untuk merekonstruksi ulang pendidikan keagaman Kristen melalui jalur pendidikan formal yang semula SDTK, SMPTK, SMAK/SMTK menjadi SDK, SMPK, SMAK/SMTK,” ujar Thomas.

Pada kesempatan serupa, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Ahmad Zayadi berpendapat UU ini sangat dibutuhkan. UU ini juga dibutuhkan pada pendidikan keagamaan agar ke depan bisa mendapatkan kesetaraan baik regulasi, program kegiatan dan anggaran.

“Kewajiban negara harus memberikan pengakuan pesantren dan keagamaan, dalam membetuk kesatuan NKRI yang merupakan menjaga kekhasan keagamaan. Inilah tradisi kita yang perlu kita rawat dalam perbedaan,” kata Zayadi. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *