Catatan: Yousri Nur Raja Agam
TERNYATA Kota utama di Indonesia itu menurut PBB, bukanlah ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta. Tetapi, Kota Surabaya. Mengapa? Karena status Jakarta memang bukanlah kota, tetapi provinsi. Kepala daerahnya, bukan walikota, melainkan gubernur.
Nah, dengan kedudukan sebagai kota utama di Indonesia, maka Kota Surabaya tahun 2016 ini mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah “Persiapan Konferensi Habitat III PBB” atau Preparatory Committee III United Nation Habitat (PrepCom III UN Habitat). Pertemuan yang diikuti 193 negara di dunia itu bakal menyampaikan misi UN Habitat yaitu: memberdayagunakan budaya lingkungan, perumahan dan pemukiman.
Surabaya dianggap cocok, karena memiliki kelebihan dari berbagai sisi. Mulai dari sejarahnya, hingga tipikal lingkungan dan masyarakat dalam sebuah perumahan serta kawasan permukiman. Kendati Surabaya merupakan “Kota Metropolitan”, namun ada kehidupan guyub perkampungan tradisional di dalamnya.
Surabaya juga menata lingkungan dan habitat yang bernuansa cagar budaya. Banyak peninggalan lama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah masa lalu. Memang, kalau kita simak dan amati secara cermat, petinggi kota Surabaya belum sepenuh hati mengelola cagar budaya.
Kalaulah, tidak ada event internasional yang berlangsung seperti sekarang ini, perangkat pemerintahan di Kota Pahlawan ini masih setengah hati melacak keberadaan cagar budaya. Ada kesan, para pejabat di Kota Surabaya “hanya” melihat cagar budaya itu dari usia gedung-gedung peninggalan kolonial. Dengan kata lain, sudut pandang cagar budaya yang ada di benak anggota Tim Cagar Budaya Kota Surabaya ini, hanyalah “mempertahankan keangkuhan gedung dan bangunan kuno peninggalan penjajah”.
Padahal, yang disebut benda cagar budaya adalah, “peninggalan sejarah”. Tidak hanya gedung dan bangunan, tetapi juga adat istiadat, tradisi dan pola kehidupan tradisional, serta benda-benda yang mengandung budaya tempo dulu. Setelah mendapat sorotan tajam dari media, akhirnya para pejabat di jajaran Pemerintah Kota Surabaya baru “ngeh” atau memahami.
Sebagai Kota bersejarah yang berjuluk Kota Pahlawan, seyogyanya, petilasan dan punden, serta kehidupan masyarakat Surabaya tempo dulu juga diabadikan sebagai cagar budaya. Misalnya, kehidupan masyarakat asli atau cikal-bakal penghuni Kota Surabaya dengan tradisi sehari-hari. Guyub, kreatif dan melestarikan budaya kerjasama yang disebut “Sinoman”. Tidak hanya itu, juga pola kehidupan dengan tingkah laku busana Cak dan Ning. Dan tentunya, ada pula kawasan yang dipertahankan dari gusuran modernisasi.
Begitu pula, ketika berkunjung ke mancanegara, banyak kawasan cagar budaya yang bisa dijadikan studibanding. Bukan hanya menjadi obyek wisata semata. Tidak sedikit contoh cagar budaya di Eropa, China, Australia, bahkan di Amerika. Namun dalam kunjungan itu para wakil-wakil kita hanya berdecak kagum, tanpa mampu mewujudkan moda seperti itu dalam sebuah usulan kepada eksekutif, bahkan menetapkan sebagai Perda (Peraturan Daerah).
Kini Surabaya menjadi tuan rumah yang berkaitan dengan pembicaraan tentang habitat, kehidupan dan lingkungan permukiman. Tentu dari acara yang berlangsung di Surabaya, 25-27 Juli 2016 ini dalam Prepcom 3 of UN Habitat III, bisa melahirkan suatu gagasan yang fundamental dan menumental.
Selamat datang dan berkonferensi para tamu dari seluruh daerah Nusantara, serta para delegasi dari mancanegara di Kota Pahlawan, Surabaya.