20 Oktober Hari Keramat Bagi Golkar dan Presiden

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

HARI INI, Rabu, tanggal 20 Oktober 2021. Bukan tanggal “merah”. Namun, hari ini dijadikan “hari libur resmi”, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW (Salallahu ‘Alaihi Wassalam), 12 Rabiul Awal 1443 Hijrah. Sebenarnya,  hari libur resmi peringatan kelahiran Nabi Muhammad,  kemarin, 19 Oktober 2021, tetapi diundur.

Pengunduran sehari itu, berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia tanggal 18 Juni 2021 Nomor 712 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, dan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 642 Tahun 2020, Nomor 4 Tahun 2020, dan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2021.

Kendati, demikian ada yang menarik dengan tanggal 20 Oktober ini. Tanggal 20 Oktober adalah hari bersejarah bagi Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Sebab, tepat hari ini, tujuh tahun Jokowi menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia. Dua periode Jokowi menjadi Kepala Negara Republik Indonesia. Masa jabatan pertama dimulai 20 Oktober 2014 — 2019, Jokowi berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden. Saat ini, untuk masa jabatan ke dua, Jokowi dilantik menjadi Presiden tanggal 20 Oktober 2019 dengan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, hingga 20 Oktober 2024.

Tanggal Keramat

Tanggal 20 Oktober boleh dikatakan merupakan tanggal “keramat” bagi Jokowi. Demikian pula oleh presiden-presiden, sejak diberlakukannya Pilpres (Pemilihan Presiden) secara langsung, setelah Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Hasil Pemilu Presiden 1999, Presiden Abdurrahman Wahid yang berpasangan dengan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri, dilantik tanggal 20 Oktober 1999.

Masa jabatan pasangan Presiden ini, lima tahun, sampai tanggal 20 Oktober 2004. Namun Gus Dur – panggilan akrab Abdurrahman Wahid – “dimakzulkan” dalam Sidang Umum MPR RI (Majelis Permusyawatan Rakyat Republik Indonesia) tanggal 23 Juli 2001. Masa jabatan tersisa, diteruskan oleh Wapres Megawati. Dengan adanya, jabatan Wapres yang lowong, terpilihlah Hamzah Haz sebagai Wapres melalui sidang MPR. Jabatan Megawati-Hamzah Haz, berakhir 20 Oktober 2004.

Nah, tanggal 20 Oktober 2004, kemudian menjadi “tanggal keramat” pula bagi Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang berpasangan dengan Wapres Muhammad Jusuf Kalla (JK). Masa jabatan SBY-JK berakhir tanggal 20 Oktober 2009. Dan pada hari yang sama, sebagai pemenang Pilpres untuk kedua kalinya, SBY kembali dilantik menjadi Presiden yang Wapresnya Budiono. Masa jabatan SBY-Budiono, berakhir 20 Oktober 2014.
Pilpres 2014, dimenangkan Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK).

Pasangan Jokowi-JK memulai jabatan tanggal 20 Oktober 2014 untuk masabakti 2014-2019. Sama dengan model SBY, pada Pilpres 2019, Jokowi memilih pasangan baru, yakni KH Ma’ruf Amin. Presiden Jokowi bersama Wapres Ma’ruf Amin, dilantik tanggal 20 Oktober 2019.

Hari ini, 20 Oktober 2020, persis satu tahun masabakti Jokowi-Ma’ruf Amin. Sekaligus, adalah tahun ke enam masabakti kepresidenan Jokowi.

Hari Bersejarah Golkar

Kalau di atas kita bicara tentang tanggal 20 Oktober adalah “hari keramat” bagi para presiden setelah Pilpres langsung tahun 1999, kecuali Megawati. Namun, sebelumnya setiap tanggal 20 Oktober adalah “hari keramat dan bersejarah” bagi Golkar (Golongan Karya) yang sekarang menjadi Partai Golkar.

Sejarahnya, begini. Pada awal era Orde Baru (Orba) muncullah Golkar. Golkar ini sendiri awalnya berdiri sebagai Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Kelahiran Sekber Golkar, karena waktu adanya rongrongan dari PKI (Partai Komunis Indonesia) beserta ormasnya, yang dinilai menyimpang dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Situasi politik saat itu terasa memanas.

Melihat kenyataan ini lahirlah Sekber (Sekretariat Bersama) Golkar yang merupakan wadah dari golongan fungsional bersama golongan karya murni. Sekber Golkar tidak berada di bawah pengaruh politik tertentu. Berbagai organisasi massa berhimpin menjadi anggota Sekber Golkar. Jumlahnya bertambah terus dengan pesat, karena golongan fungsional lain juga ikut menjadi anggota Sekber Golkar. Waktu itu, perjuangan yang mendasar dari organisasi fungsional Sekber Golkar, adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945.

Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi. Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS (Majelis Permusayawaratan Rakyat Sementara) dan Front Nasional, maka atas dorongan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber Golkar, pada tanggal 20 Oktober 1964 itu.

Terpilih sebagai Ketua untuk pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono.
Berikutnya diselenggarakan Mukernas (Musyawarah Kerja Nasional) I, bulan Desember 1965. Dalam Mukernas I ini, terpilih Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati.

Pada awal pertumbuhannya, sebanyak 291 organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber Golkar ini, dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:

• Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO).

• Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI).

• Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).

• Organisasi Profesi.

• Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM).

• Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI).

• Gerakan Pembangunan.

Ke tujuh kelompok Induk Organisasi (KINO) inilah yang merupakan awal cikal bakal adanya Sekber Golkar. Dalam perkembangan selanjutnya, tinggal tiga KINO yang bertahan, yakni: Kosgoro, Soksi dan MKGR. Ke tiga organisasi ini, disebut Trikarya yang menjadi “tulang punggung” yang selalu bersama Sekber Golkar. Sekber Golkar berubah wujud menjadi Golongan Karya, dan menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu (Pemilihan Umum).

Pada Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, tahun 1971, salah satu pesertanya adalah Golongan Karya dan tampil sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada Pemilu-Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan Golkar, seperti peraturan monoloyalitas PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan sebagainya.

Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar. Pada Pemilu 1999 Partai Golkar, tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya pada masa pemerintahan Soeharto. Pemilu 1999 yang diselenggarakan Pemerintahan Presiden Habibie, diikuti oleh 48 Partai Politik. Perolehan suara Partai Golkar turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan).

Keberadaan Partai Golkar yang bertahan hingga sekarang, dalam dunia politik Internasional, dianggap sebagai hal yang unik, bahkan “ajaib”. Betapa tidak, suatu rezim yang berkuasa 32 tahun, kemudian pemimpinnya tumbang, tetapi “partainya” masih tetap bertahan. Itulah Golkar yang menjelma menjadi Partai Golkar.

Ibarat Ibu Hamil Tua

Kendati Partai Golkar “dianggap sakti”, bukan berarti Partai Golkar berjalan lancar dan indah. Tidak seperti yang terlihat di permukaan. Karena, dari Partai Golkar ini banyak dilahirkan ahli politik atau politikus, maka di dalamnya terjadi “perebutan kursi”.

Kenyataan ini, terlihat saat menjelang Munas (Musyawarah Nasional), yaitu saat pemilihan Ketua Umum yang baru, beserta cabinet atau susunan pengurus DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Partai Golkar.

Munas Partai Golkar ini, tidak jarang diibaratkan sebagai “ibu yang hamil tua”. Berulangkali terjadi pertikaian dan ketidakcocokan dalam pemilihan calon pengganti ketua umum. Uniknya pertikaian di dalam organisasi Partai Golkar itu, tidak mengganggu jalannya hasil Munas. Justru para petinggi yang semula diunggulkan, tetapi tersisih, mereka “mengalah”. Lalu, mendirikan Partai Politik Baru.

Dalam pemberitaan mediamassa setiap menjelang Munas Partai Golkar, terjadi kericuhan. Bagi “orang Golkar”, kericuhan itu dianggap sebagai hal biasa. “Itulah politik!”, ujar beberapa senior Partai Golkar. Berita kericuhan menjelang dan selama berlangsungnya Munas itu, adalah politik informasi. Ini sama halnya dengan “iklan gratis” yang tidak perlu kami bayar, misalnya seperti yang sering diucapkan HM Ridwan Hisjam, anggota DPR RI dari Jawa Timur.

Memang, kenyataannya sengketa itu berdampak perpecahan. Kemudian, perpecahan itu sampai melahirkan “partai politik baru”. Inilah kenyataan dari kemelut di tubuh Golkar atau Partai Golkar yang sudah empat kali melahirkan “bayi Parpol baru”. Yang pertama: PKP yang menjadi PKPI, yang kedua: Partai Hanura, yang ketiga: Partai Gerindra dan yang keempat: Partai Nasdem.

Ada satu lagi, tetapi tidak termasuk yang lahir langsung, tetapi ada “darah” yang mengalir di tubuh Partai Politik itu, yakni: Partai Berkarya. Partai yang didirikan mantan tokoh Partai Golkar Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra mantan Presiden Soeharto.

Kita masih ingat, saat Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) Golkar di awal era reformasi, Juli 1998, berakhir ricuh. Gara-gara Edi Sudradjat dikalahkan oleh Akbar Tandjung. Edi yang mantan Menhankam (Menteri Pertahanan dan Keamanan) itu kecewa berat. Bersama pendukungnya, Edi Sudradjat hengkang dari Golkar. Mereka, yakni : Sarwono, Siswono, Hayono Isman, David Napitupulu dan beberapa politikus nasional lainnya. Mereka membelot dari Golkar dan mendirikan GKPB (Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa). Dari gerakan ini, lalu lahirlah partai baru PKP (Partai Keadilan dan Persatuan) yang dideklarasikan 15 Januari 1999.

Tahun 2004, Wiranto sebagai pemenang Konvensi Calon Presiden dari Partai Golkar, kecewa berat. Ini disebabkan JK (Jusuf Kalla), mantan Ketua Umum Partai Golkar berpasangan dengan dengan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Padahal sebelumnya, JK berpasangan dengan Wiranto (JK-Win). Nah, kekecewaan Wiranto itu, menghasilkan kelahiran anak ke dua Golkar yang diberi nama Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tahun 2006.

Hal yang sama juga dirasakan Prabowo Subianto yang juga pernah ikut konvensi Capres Partai Golkar 2004 itu. Para pendukung Prabowo bergerak cepat menghimpun kekuatan. Buahnya, melahirkan partai sempalan Golkar yang ke tiga setelah PKP dan Hanura, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Usai Munas Partai Golkar 2009 di Riau, terjadi perpecahan. Merasa dipecundangi oleh kader-kader Partai Golkar di berbagai daerah, Surya Paloh yang menjadi kandidat ketua umum kalah melawan Aburizal Bakrie alias Ical. Tahun 2010, pria asal Aceh yang senang memelihara jambang dan jenggot itu, mendirikan Organisasi Massa (Ormas) Nasional Demokrat (Nasdem). Inilah embrio Partai Nasdem yang berdiri tahun 2010 sebagai bayi ke empat dari benih Partai Golkar.

“PGI Digugurkan”

Sebenarnya, ada satu lagi Parpol baru yang sudah dalam kandungan “ibu Partai Golkar yang hamil tua”, tidak jadi lahir. Berhasil digugurkan. Saat itu, mendekati berakhirnya masabakti 2010-2015 kepengurusan yang dipimpin Abu Rizal Bakri (ARB) alias Ical. Rencananya, Munas diselenggarakan di Bali pertangahan 2015. Munas itu, ternyata menimbulkan perpecahan sebelum pelaksanaan. Agung Laksono bersama kelompoknya, menyelenggarakan Munas tandingan di Ancol, Jakarta.

Adanya dua Munas ini mengakibatkan sengketa hukum formal di pengadilan – mulai PTUN, Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung, serta Keputusan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM.

Para senior Golkar “turun gunung”, seperti Akbar Tandjung, BJ Habibie dan Jusuf Kalla. Sepakat akan menyelenggarakan Munaslub, satu dua bulan mendatang. Sikap Aburizal Bakrie dan Agung Laksono kelihatan cukup dewasa. Mereka berdua seolah-olah setuju, sama-sama tidak maju lagi dalam Munaslub itu.

Kesepakatan tak tertulis menyebut regenerasi, menyerahkan kepemimpinan Partai Golkar kepada kader muda.

Namun, di tengah suara damai itu, mencuat pemberitaan yang memanaskan situasi. Ada kelompok yang menamakan diri gabungan unsur DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Partai Golkar dari berbagai daerah di Indonesia. Di samping mengklaim sebagai kubu Munas Ancol, kelompok ini menyatakan akan memisahkan diri dari Partai Golkar. Mereka yang menyebut berasal dari 520 DPD se Indonesia itu, akan membentuk partai baru bernama: Partai Golkar Indonesia (PGI).

Kendati ada yang menyatakan pembentukan partai baru ini hanya bentuk manuver. Gertak sambal antarkubu,  jangan pula dipandang sebelah mata. Walaupun, gerakan yang disebut melibatkan 520 DPD se Indonesia itu tidak muncul ke permukaan, bisa saja ada “gerakan bawah tanah”.

Perseteruan antara kubu Munas Bali dengan Munas Ancol, masih menyimpan “dendam kesumat” di antara yang “mati-matian” berjuang mempertahankan “kebenaran” dari hasil Munas yang mereka ikuti. Ada barisan “sakit hati”.

Kita tahu, Partai Golkar adalah “tempat berguru” kader-kader politik tanahair. Apa pun partainya, masih mengakui bahwa kader bangsa terbaik saat ini, masih yang berasal dari kandungan Orde Baru itu.

Sejarah lahirnya Parpol-parpol baru, tidak lepas dari “antre panjang” para kader Golkar. Sehingga mereka mendirikan partai baru. Jadi, keberadaan kemelut di Golkar atau Partai Golkar yang diibaratkan ibu yang hamil itu, bisa saja melahirkan bayi yang ke lima dari Golkar. Kalau yang disebut Partai Golkar Indonesia (PGI) itu sudah digugurkan. Bukan tidak mungkin suatu saat ibu hamil dari Partai Golkar bakal melahirkan Parpol baru lagi.

Contoh yang bisa dilihat adalah, Partai Berkarya. Walaupun dinyatakan lahir bukan akibat kemelut Munas Partai Golkar, tetapi “darah yang mengalir” di Partai Berkarya ini masih dari Golkar. Sebab, menurut Tommy sendiri, kelahiran Partai Berkarya tidak ada kaitannya dengan Golkar atau Partai Golkar. Tetapi diakui, sebagian besar anggota Partai Berkarya pernah “berguru” di Golkar. Partai Berkarya merupakan penggabungan dari Partai Nasional Republik dan Partai Beringin Karya yang sudah ada sebelumnya.

Partai Berkarya bukan lahir dari “perut” ibu yang bernama Golkar atau Partai Golkar. Berbeda dengan PKP yang kemudian menjadi PKPI, Partai Hanura, Partai Gerindra dan Partai Nasdem.

Nah, hari ini 20 Oktober 2021, bertepatan pula usia penulis: Yousri Nur Raja Agam yang dilahirkan 20 Oktober 1950, genap 71 tahun. Bersamaan dengan Golkar yang kini bernama Partai Golkar berulang tahun ke 57 (20 Oktober 1964 — 20 Oktober 2021). Dirgahayu dan Selamat kepada keluarga besar Partai Golkar.

Begitu pula, Selamat untuk Pak Jokowi, di hari ini tepat menduduki masajabatan Presiden di tahun yang ke tujuh, 20 Oktober 2014 – 2019, ditambah dua tahun pada periode ke dua, 20 Oktober 2019 – 2021 dan berakhir 20 Oktober 2024, (**)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait