Oleh :
M. Mufti Mubarok
Direktur Utama Lembaga Survey Regional (LeSuRe)
Menjelang Debat kandidat tanggal 17 Januari 2019 mendatang sebenarnya Presiden Joko Widodo Bukan lagi Presiden Definitif, karena statusnya sudah menjadi capres sejak penetapan Capres dan Cawapres RI oleh KPU pada tanggal 20 september 2018 lalu, dan sekaligus dimulainya tahapan masa kampanye. Namun ada hal yang dirasa tidak adil dalam Pilpres 2019 kali ini, yaitu Capres Petahana Bapak Joko Widodo yang tidak mengajukan cuti/mengundurkan diri sebagai presiden aktif dengan alasan tidak bertentangan dengan UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan PP No 32 tahun 2018 tentang aturan cuti atau mengundurkan diri yang dibuat sendiri sebagai payung hukum agar tidak dipersoalkan. Kedua produk UU dan PP ini bertentangan dengan UUD 1945 sebagai dasar penetapan peraturan perundang-undangan dibawahnya. Sehingga kedua produk hukum ini dapat dinilai cacat hukum karena menyalahi konstitusi.
Lahirnya UU No 7 Tahun 2017 serta PP No 32 Tahun 2018 tentu sangat menguntungkan bagi Paslon No urut 01 yang dapat dengan leluasa memanfaatkan jabatannya untuk mengunakan seluruh fasiltas negara selama masa kampanye. Sementara itu, hal sebaliknya dilakukan oleh Paslon Cawapres No urut 02 Sandiaga S Uno, dengan itikad baik mengundurkan diri sebagai Wakil Gubernur DKI sejak dirinya dinyatakan sebagai Cawapres mendampingi Capres No urut 02.
Hampir sebagian besar pejabat Negara termasuk Wakil Presiden Yusuf Kalla, jajaran Menteri, serta beberapa Gubernur dan Bupati/Walikota secara terang terangan mendukung Paslon Capres No 01. APBN 2018 dan 2019 secara Terstruktur Masif dan Sistemik (TSM) digunakan untuk kampanye terselubung guna pemenangan paslon No urut 01.
Ironisnya, kewajiban sebaliknya diberlakukan pada Aparatur Sipil Negara, Pejabat BUMN serta beberapa unsur pejabat pemerintah lainnya wajib mengundurkan diri dari jabatannya saat mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden. Lahirnya UU No 7 Tahun 2017 serta PP No 32 Tahun 2018 diduga sebagai jurus yang disusun oleh petahana.
Ada apa dengan presiden RI petahana yang tidak mau cuti/mengundurkan diri ?
Pertanyaan diatas muncul sebagai sebuah pertentangan terhadap UUD 45 yang menyatakan bahwanya seluruh warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. sehingga berdasarkan atas demokrasi dan keadilan dalam berkonstitusi, maka muncul lagi pertanyaan apakah perlu dilakukan Judicial Review ke Mahkamah Kosntitusi (MK) RI terhadap UU No 7 tahun 2017 dan PP No 32 Tahun 2018?
Selain hal tersebut diatas, beberapa pertimbangan moral yang juga terjadi dan bertentangan dengan konstitusi adalah banyaknya pejabat negara yang aktif ikut serta dalam kampanye bahkan sebagai tim sukses dari Petahana. Jika kita melihat pada masa Pilpres 10 tahun yang lalu, Presiden ke-6 RI mengajukan cuti saat masa kampanye dimulai. Bahkan setingkat Ormas Muhammadiyah dan NU mengeluarkan instruksi bagi pengurusnya untuk mundur dari jabatan bila maju sebagai calon pada pilpres, pilkada atau calon legislatif.
Kerugian konstitusi akibat dari adanya ketidakadilan dalam ketentuan UU No 7 tahun 2017 dan PP 32 tahun 2018 maupun pelaksanaannya dapat dirasakan oleh Paslon No urut 02 maupun para pengusung serta pendukungnya seperti Partai Berkarya misalnya yang merupakan salah satu partai pendukung namun belum terlibat dalam pembahasan dan penetapan peraturan ini.
Demikianlah Ringkasan Opini ini kami buat dan sampaikan, semoga keadilan dan demokrasi dapat ditegakkan di Negeri Tercinta ini.