Catatan: Yousri Nur Raja Agam
HARI ini, 76 tahun silam, 21 Agustus 1945 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengukir sejarah di Kota Pahlawan, Surabaya.
Peristiwa ini “sebenarnya layak”, dinyatakan sebagai ”hari lahir” Polri. Sebab pada tanggal 21 Agustus itulah berlangsung “Proklamasi Kepolisian Republik Indonesia”.
Namun, sejarah yang terjadi empat hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta itu, “hanya dicatat” sebagai peristiwa lokal di Kota Surabaya.
“Proklamasi Polisi” itu tertulis dalam ejaan lama, seperti berikut:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”.
Soerabaja, 21 Agoestoes 1945.
Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi:
Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I.
Dalam buku Sejarah Kepolisian di Indonesia yang diterbitkan oleh Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia tahun 1999, Halaman 46, dengan jelas ditulis:
Proklamasi Polisi sebagai Polri, 21 Agustus 1945.
Proklamasi Polisi itu merupakan suatu tekad anggota polisi untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, walaupun sudah menyerah.
Proklamasi Polisi itu juga bertujuan untuk meyakinkan rakyat bahwa polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik Indonesia. Bersama rakyat berjuang melawan penjajah. Dengan demikian rakyat bisa melihat bahwa polisi bukanlah alat penjajah.
Besoknya tanggal 22 Agustus 1945, IP I Moehammad Jasin melakukan pawai dengan mengerahkan duaratus anggotanya, ditambah pasukan Polisi Istimewa Kota Besar Surabaya berjumlah seratus orang di bawah pimpinan IP II Soeratmin. Pawai unjuk kekuatan ini menyusuri jalan protokol Kota Surabaya. Perlengkapan dan seragam digunakan yang lama, bedanya emblim dan topi pet. Di atas saku baju sebelah kiri dihiasi merah putih berbentuk oval atau persegi empat.
Nah, itulah langkah yang dilakukan polisi, sebelum pendaratan armada kapal perang Sekutu di Tanjung Perak Surabaya, 25 Oktober 1945. Saat itu situasi di kota Surabaya semakin mencekam. Kemarahan rakyat terhadap Indo-Belanda yang membonceng rombongan Palang Merah Internasional (Intercross) dan RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Interneers) makin menjadi-jadi.
Selain pemuda yang bergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat), polisi juga mempunyai peran yang cukup menentukan menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Ketika terjadi insiden bendera, 19 September 1945, polisi bergerak cepat, mereka menyatu dengan massa.
Bahkan di Surabaya, selain polisi umum ada pasukan PI (Polisi Istimewa) yang sangat disegani. PI adalah jelmaan dari CSP (Central Special Police). Apalagi saat bulan Agustus 1945 itu, hanya polisi yang masih memegang senjata. Sebab setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, penguasa Jepang di Indonesia membubarkan tentara PETA dan Heiho. Jepang memulangkan para pemuda yang dilatih dalam pasukan PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho dan senjata mereka dilucuti.
Karena polisi mempunyai peran yang istimewa dalam masyarakat, maka kondisi itu dimanfaatkan untuk melakukan pemantapan.
Jadi, di Kota Surabaya lah Kepolisian Republik Indonesia lahir mendahului keberadaan polisi “secara resmi” di Indonesia yang ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara, 1 Juli 1946.
Dalam waktu singkat, polisi melakukan koordinasi dengan pejuang yang tergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian berubah nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), serta BPRI (Barisan Pemberontakan Republik Indonesia) pimpinan Sutomo (Bung Tomo). Mereka bahu-membahu dan menyatu dalam berbagai kegiatan pengamanan dan perlawanan terhadap tindakan yang dilakukan serdadu Jepang dan anak-anak muda Indo-Belanda.
Selama bulan September dan Oktober 1945, situasi bercampur antara semangat kemerdekaan oleh rakyat dan sikap Jepang “yang kalah perang” tetapi masih bersenjata. Di samping itu, utusan yang mempersiapkan kedatangan pasukan Sekutu juga sudah terlihat. Jepang tidak begitu saja menyerahkan senjatanya kepada para pemuda yang berusaha merampas senjata yang dipegangnya. Namun dalam beberapa kasus, pihak Jepang hanya bersedia menyerahkan senjatanya kepada polisi, seraya minta jaminan keselamatan.
Perebutan Senjata
Situasi ekplosif yang berjalan hampir dua minggu sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, di Surabaya berubah dengan cepat. Dalam buku “Pertempuran Surabaya” yang diedit Prof.Dr.Nugroho Notosusanto disebutkan tanggal 2 September 1945 tersusun kepemimpinan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Surabaya. Para pemuda di kampung-kampung dan pabrik-pabrik menyusun kekuatan dan penjagaan keamanan.
Akibat Tentara Peta Dibubarkan
Balatentara Jepang yany kalah dari Perang Dunia II, membubarkan Tentara Peta. Para pemuda Indonesia yang sebelumnya dilatih, dipulangjan ke daerah masing-masing. Senjatanya dilucuti sebelum dibubarkan.
Setelah Peta dibubarkan, hanya polisi yang masih memiliki senjata. Sekalipun polisi masih memiliki senjata, bukan tidak mungkin Jepang akan melucuti mereka. Karena peristiwa pelucutan senjata Peta secara licik itu, ujar seorang bekas daidanco Gresik, bernama drg.Moestopo.
Oleh karena itu, ia memerintahkan kepada bekas shodanco Abdurahman untuk menghubungi kepala polisi M.Jasin.
Drg.Moestopo berpesan melalui suratnya yang mengingatkan polisi jangan sampai ditipu oleh Jepang, seperti Peta. Abdurahman pergi ke SMT (Sekolah Menengah Tinggi) menghubungi Isman. Bersama Isman dan Kepala SMT, Sutan Rustam Zein, ia menghadap M.Jasin. Adanya pesan itu, menjadikan polisi waspada terhadap kemungkinan atau usaha melucuti dirinya.
Pemuda-pemuda sebagian besar tidak memiliki senjata apai. Yang digunakan hanya senjata tradisional, seperti bambu runcing (takeyari), kelewang, pedang, clurit dan lain-lain. Mereka memerlukan senjata api.
Tentunya untuk mendapatkan senjata itu tidak gratis dari Jepang, tetapi harus direbut. Nah, api pembakarnya telah dinyalakan oleh KNI dan membuat maklumat pemerintah daerah yang tertuang di dalam Proklamasi RI daerah Surabaya tanggal 3 September 1945. Mulai saat itulah Surabaya memulai revolusi. Sasaran pokoknya adalah gudang-gudang penyimpanan senjata Jepang. Tindakan pertama yang dilakukan adalah melucuti pasukan-pasukan Jepang yang menjaga dan menguasai senjata.
Pada waktu itu gudang senjata Jepang yang terbesar terletak di Sawahan di gedung sekolah Don Bosco. Gudang senjata ini dikuasai oleh Dai 10360 Butai Kaisutiro Butai yang dipimpin oleh Mayor Hazimoto, dengan personil Jepang 16 orang dan heiho satu peleton. Sebelumnya di sana ada 150 orang karyawan sipil, tetapi mereka sudah diberhentikan sejak bulan Agustus 1945. Namun mereka masih dipekerjakan untuk menginventarisasi senjata yang akan diserahkan kepada Serikat (Sekutu).
Dari karyawan yang masih ada di gudang itulah diperoleh keterangan tentang keadaan arsenal Don Bosco di Jalan Tidar Surabaya. Informasi itu disebarluaskan dan kemudian tempat inilah yang menjadi sasaran pertama para pemuda.
Tanggal 16 September 1945, gudang mesiu Don Bosco dikepung pemuda, pelajar dan massa rakyat. Beberapa orang maju menemui pimpinannya. Mereka adalah Subianto Notowardojo dan Mamahit guru Sekolah Teknik Don Bosco, serta seorang wartawan bernama Sutomo (dikenal dengan panggilan: Bung Tomo).
Ketiga orang ini berdiplomasi agar kekuasaan arsenal diserahkan kepada mereka. Mayor Hazimoto setuju dengan penyerahan itu, tetapi yang menerima harus polisi. M.Jasin beserta anak buahnya dari Polisi Istimewa, maju dan menandatangani naskah serah terima penguasaan arsenal. Sutomo dengan segenap yang hadir menjadi saksi penyerahan. Jumlah senjata di arsenal Don Bosco tidak terhitung. Bahkan Bung Tomo pernah mengirim senjata ke Jakarta sebanyak empat gerbong kereta api yang diambil dari arsenal ini.
Para bekas tentara Peta yang dilucuti senjatanya tanggal 18 Agustus 1945 tidak tinggal diam. Bekas Cudanco Suryo bersama Syudanco Isa Edris pegi menemui Kohara Butai di Gunungsari. Di sana mereka diterima Kolonel Kohara Jingo. Kepada Jingo mereka meminta agar senjata yang ada di markas itu diserahkan. Sebagai tentara yang “kalah perang”, Kolonel Kohara Jingo tidak keberatan menyerahkan semua senjatanya. Hanya satu permintaannya, agar pedang pribadinya dikecualikan.
Permintaan itu diluluskan. Berkat diplomasi ini berhasil diangkut senjata ringan dan berat yang jumlahnya mencapai 100 pucuk. Senjata itu sebagian besar diserahkan kepada pasukan Tentara Pelajar di HBS (Hogere Burgere School) dan kepada BKR Laut.
Usaha mendapatkan senjata terus berlanjut. Samekto Kardi bersama Isa Edris dan rombongan menuju ke bekas Daidan tentara Peta di Gunungsari. Di sana mereka langsung menuju gudang senjata dan mengambil 514 pucuk senjata yang terdiri dari 400 pucuk karaben, 14 pucuk pistol Vickers, 50 mortir, 50 tekidanto dan 30 pucuk senapan mesin ringan dan berat.
Pangkalan udara Morokrembangan juga diambil alih oleh pemuda dan polisi. Ali Jayengrono berdiplomasi dengan pimpinan pangkalan dan behasil mendapatkan beberapa pucuk senjata.
Jumlah senjata terbanyak diperoleh dari markas Jepang Tobu Jawa Boetai yang dipimpin Jenderal Iwabe. Caranya cukup unik. Pagi-pagi sejumlah pemuda mengepung markas itu. Kemudian, Moestopo bersama Wahab, Suyono, Mudjoko, M.Jasin dan Rahman dengan seragam daidanco menghadap Jenderal Iwabe. Kepada Iwabe, Moestopo atas nama pimpinan BKR, atas nama Gubernur Jatim dan atas nama Presiden Republik Indonesia, serta atas nama rakyat, meminta agar senjata diserahkan kepada mereka.
Permintaan itu ditolak oleh Iwabe. Moestopo mengancam, kalau tidak berhasil, maka pukul 10.00 terjadi tembak-menembak. Ancaman itu benar-benar terjadi pada pukul 10.00. Masrkas Iwabe dikepung dan ditembaki. Anak buah Iwabe membalas, sehingga terjadilah pertempuran.
Jenderal Iwabe dengan perantaraan seorang kolonel meminta agar Moestopo menghentikan tembakan. Namun tidak mudah. Akhirnya, Iwabe mengumpulkan stafnya. Moestopo juga memanggil M.Jasin, Suyono, Mudjoko, Wahab dan Rahman. Maka terjadilah perundingan. Namun Iwabe tetap menyatakan tidak akan menyerahkan senjata tanpa ada orang yang bertanggungjawab. Moestopo menanyakan bertanggungjawab kepada siapa. Iwabe mengatakan kepada Serikat (Sekutu), sebab sewaktu-waktu mereka datang. Moestopo langsung menjawab dan menunjuk dirinya.
“Ya ini, pemimpin Jawa Timur, yang mewakili Gubernur, yang bernama Moetopo mantan Daidanco, ini yang bertanggungjawab”, kata Moestopo menunjuk ke arah dirinya.
Oleh staf Jenderal Iwabe, Moestopo disodori naskah dalam bahasa Jepang. Tanpa menunggu lebih lama naskah itu ditandatangani berganti-ganti, mulai dari Moestopo disusul Suyono, Mudjoko, M.Jasin, Abdul Wahab dan Rahman.
Setelah penandatanganan, gudang senjata di tingkat bawah dibuka. Pemuda-pemuda berhamburan memasuki gudang senjata dan dibagi-bagikan. Markas pimpinan Iwabe itupun kemudian diambilalih, dijadikan markas BKR Jawa Timur dan “Kementerian Pertahanan” di bawah komando Drg.Moestopo. Sejata-senjata itu dibawa ke markas BKR Kota, Markas PRI, markas BKR Keresidenan dan gedung HBS untuk dbagi-bagikan kepada pemuda.
Perjalanan perebutan senjata belum selesai. Sasaran selanjutnya Kitahama Butai yang semula menjadi kantor Lindeteves. Dari sini berhasil direbut 23 tank, 18 senjata pengkis udara, enam pucuk watermantel. Perebutan senjata ini dipimpin Isa Edris dan Suprapto.
Sebagai catatan, bahwa keberhasilan Arek-arek Suroboyo “menguras gudang senjata” Jepang, karena ada Polisi Istimewa. Pihak Jepang, mau menyerahkan senjata dan mesiu di gudang itu, “hanya kepada polisi”. Itulah sebabnya, kehadiran perwakilan Polisi Istimewa sangat menentukan. Bahkan, senjata-senjata itu, dua gerbong penuh dikirim ke Jakarta untuk mempersenjatai pemuda pejuang.
Hari Bhayangkara
Sejarah tentang “Proklamasi Polisi Indonesia” di Kota Surabaya, 76 tahun silam, tanggal 21 Agustus 1945 yang diperingati secara terbatas itu. Kendati seharusnya, tanggal yang layak dijadikan “Hari Lahir Kepolisian Republik Indonesia” adalah saat Proklamasi Polisi itu.
Dasarnya Hari Jadi Polri, yang disebut Hari Bhayangkara ditetapkan tanggal 1 Juli 1946, karena pada tanggal 1 Juli 1946 itu, Kepolisian “beralih status” menjadi Jawatan tersendiri.
Sesuai Penetapan Pemerintah No.11/S.D, Kepolisian beralih status menjadi jawatan tersendiri langsung di bawah Perdana Menteri. Peralihan status itu menjadikan kedudukan Polri setingkat dengan Departemen. Dan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Kemudian struktur organisasi Kepolisian pun tersusun dari tingkat pusat sampai daerah.
Nah, perubahan status itu, diwujudkan menjadi Hari Bhayangkara. Jadi, memang Hari Bhayangkara itu “bukan hari lahir” Kepolisian Republik Indonesia (Polri), karena sesungguhnya sosok polisi itu sudah ada sebelumnya.
Dirgahayu Kepolisian Republik Indonesia dan Selamat Hari Ulang Tahun ke 76 Proklamasi Polri (Kepolisian Republik Indonesia), 21 Agustus 1945 — 21 Agustus 2021.
*) Yousri Nur Raja Agam MH. Wartawan Senior — Mitra Polri.