9 tahun pemerintahan Jokowi, kemajuan dan kritik proposional

  • Whatsapp

Oleh: Wibisono

Periode pertama Presiden Joko Widodo ditandai dengan pembangunan infrastruktur yang pesat, pembangunan infrastruktur di era pertama Jokowi berjalan masif.

Pembangunan infrastruktur boleh dibilang bagus,banyak kemajuan. Namun pembangunan infrastruktur tidak diimbangi dengan perhitungan yang matang terkait jumlah hutang yang sangat besar dan mengkhawatirkan.

Pemerintah sendiri memiliki 248 proyek strategis nasional, sebagaimana diatur dalam peraturan presiden mengenai percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Berikut hutang yang signifikan dari tahun Ketahun:
2017: Rp3.995 triliun
2018: Rp4.418 triliun
2019: Rp4.786 triliun
2020: Rp6.074 triliun
2021: Rp6.908 triliun
Oktober 2022: Rp7.496,7 triliun

Demikian juga dengan Anggaran Bunga Utang di APBN dari Tahun ke Tahun juga menunjukkan pembengkakan.

2017: Rp216,6 triliun
2018: Rp257,9 triliun
2019: Rp275,5 triliun
2020: Rp314,1 triliun
2021: Rp343,5 triliun
2022: Rp403,9 triliun
RAPBN 2023: 441,4 triliun

Ditengah berbagai persoalan ekonomi, tingginya utang negara, dan stagnasi atau bahkan menurunnya kesejahteraan rakyat di atas, kengototan pemerintah dalam menggelontorkan APBN untuk proyek-proyek yang tidak prioritas yang hanya membuat APBN terbebani dan utang negara makin bengkak.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah pembiayaan APBN untuk Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Padahal janji awalnya proyek ini tidak menggunakan APBN. Nyatanya KCJB telah mengalami cost overrun menjadi sebesar 8 miliar dolar AS atau setara 114,24 triliun rupiah. Biaya itu membengkak 27,09 triliun rupiah dari rencana awal yang hanya sebesar 86,5 triliun rupiah.

Tiba-tiba Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang menjadi alas APBN bisa digunakan untuk ikut mendanai pembengkakan biaya kereta cepat tersebut. Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar 4,1 Triliun rupiah pun akan digelontorkan untuk menambal biaya bengkak Proyek Kereta Cepat. Alhasil proyek ini bukan saja amburadul dalam perencanaan tapi juga mengelabuhi kita semua dengan menjadi beban baru bagi keuangan negara.

Proyek lain yakni proyek Ibu Kota Negara (IKN). Sejak Undang Undang di ketok oleh DPR, menurut penulis proyek ini bukan prioritas dan bermasalah dalam berbagai aspek : tinjauan filosofis, historis, ketatanegaraan hingga masalah lingkungan, tata ruang, dan daya dukung lainnya. Tidak kalah penting adalah adanya beban keuangan negara yang sangat besar.

Total anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan Ibu Kota Negara “Nusantara” diperkirakan sebesar Rp 466 triliun ke Rp 486 triliun. Anggaran yang relatif sangat besar apabila dimanfaatkan untuk sektor-sektor lainnya. Selain itu, proses pembahasan UU IKN sebagai landasan pembangunan IKN dinilai sangat terburu-buru dan tanpa kajian matang.

Selain itu ada kebijakan yaitu terkait Kenaikan BBM bersubsidi berdampak terhadap kenaikan harga bensin, bahan bakar rumah tangga, tarif angkutan udara, dan tarif angkutan dalam kota dan biaya logistik lainnya. Inflasi tinggi pada September 2022 makin menggerus daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan. Sementara bantuan sosial dinilai masih belum efektif meredam rembetan kenaikan harga bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut otomatis juga melemahkan daya beli masyarakat ditandai Keyakinan Konsumen menurun pada November 2022.

Dalam bidang hukum, Transparency International Indonesia (TII) meluncurkan data IPK atau”Corruption Perception Index” (CPI) Indonesia pada 2022 yang mengalami penurunan dari 38 ke 34. IPK mengacu pada 8 sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Persoalan hukum masih menyisakan masalah yang serius, dan rapor merah terkait penetapan hukum yang masih tebang pilih.

Yang terbaru adalah peristiwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan batas usia untuk calon presiden dan wakil presiden yang sangat memalukan, dan merusak Marwah mahkamah konstitusi, ini jelas tujuannya untuk melanggengkan politik dinasti Jokowi.

Terkait Kedaulatan pangan, dalam hal ini pemerintah juga gagal mewujudkan kedaulatan pangan untuk rakyat. Padahal kedaulatan pangan adalah jalan toll menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Mengingat Indonesia memiliki semua potensi sumber daya alam yang tidak dimiliki negara manapun berupa hasil bumi: beras, kedelai, jagung, garam, ikan hingga bahan baku minyak goreng.

Alih-alih mewujudkan kedaulatan, untuk urusan kemandirian pangan pun dalam sejumlah komoditas masih harus impor setiap tahun. Hal tersebut dapat dilihat dari data impor tiap tahun sebagai berikut:

Impor Gula
2017: 4,48 juta ton
2018: 5,02 juta ton
2019: 4,09 juta ton
2020: 5,53 juta ton
2021: 5,45 juta ton
2022: Alokasi impor sebesar 4,37 juta ton

Impor Beras
2017: 305,27 ribu ton
2018: 2,25 juta ton
2019: 444,5 ribu ton
2020: 356,28 ribu ton
2021: 407,74 ribu ton
2022
Kuartal I: 51.408,05 ton
Kuartal II: 75.075,08 ton
Kuartal III: 162.224,02 ton
Kuartal IV: (sampai Oktober): 12.999,01 ton
Total (Januari – Oktober 2022): 301,7 ribu ton

Impor Daging Sapi
2017: 160,19 ribu ton
2018: 207,42 ribu ton
2019: 262,25 ribu ton
2020: 223,42 ribu ton
2021: 273,53 ribu ton
2022: Kebutuhan impor daging sapi/kerbau pada tahun 2022 diperkirakan sebesar 266,6 ribu ton.

Impor Kedelai
2017: 2,67 juta ton
2018: 2,58 juta ton
2019: 2,67 juta ton
2020: 2,47 juta ton
2021: 2,48 juta ton
2022 (Januari-Agustus): 1,37 juta ton.

Penyebab kedaulatan pangan belum juga bisa terwujud karena pemerintah tidak memiliki kebijakan pertanian dari hulu ke hilir yang komprehensif, pemerintah juga gagal mengatur tata niaga kebutuhan pokok dan pangan masyarakat. Akibatnya pangan yang melimpah di waktu panen tidak terserap pemerintah. Atau tiba-tiba Indonesia mengalami krisis minyak goreng di pasaran seperti yang terjadi akhir tahun lalu. Petani pun tak kunjung sejahtera, selain sawah yang semakin menyempit, biaya tanam berupa benih dan pupuk kerap melambung, sementara ketika panen harga jatuh.

Di sisi lain, pemerintah tidak memiliki data stok pangan yang benar-benar akurat, sementara ketika terjadi kekurangan stok pangan solusinya acapkali mengandalkan impor dari negara lain seperti baru-baru ini pemerintah melalui Bulog akan kembali mengimpor beras 200 ribu ton untuk memenuhi stok pangan pada bulan Desember 2022.

Dalam hal demokrasi , penyelenggaraan pemilu 2019 yang lalu menimbulkan konflik horizontal yang berkepanjangan, netralitas penyelenggara pemilu. Kita menyoroti sejumlah peristiwa dan bersama masyarakat sipil mengawal sejumlah kasus yang mencuat.

Perihal dugaan kecurangan berupa manipulasi data dalam proses verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2019 yang ditemukan dan disuarakan oleh masyarakat sipil pemantau pemilu. Manipulasi diduga terjadi ketika proses rekapitulasi data hasil verifikasi faktual, yang dilakukan secara berjenjang. Akibatnya, sejumlah partai politik calon peserta pemilu yang gagal lolos verifikasi administrasi dan faktual menilai KPU tidak transparan dan adil dalam memutuskan hasil verifikasi sehingga menimbulkan gugatan.

Akankah ini akan terulang kembali pada pemilu tahun 2024?, saya sangat pesimis melihat kondisi demokrasi saat ini, demokrasi kita dibayang bayangi kecurangan dan politik dinasti, serta memaksakan pasangan calon tertentu untuk dimenangkan.

Sedangkan dalam hal keamanan dan pertahanan negara, kita masih menyisakan masalah keamanan diPapua, sengketa Laut Cina Selatan (LCS ) dan sengketa pulau pasir dengan Australia, terkait isu global Aukus pertahanan yang digagas AS, inggris dan Australia juga perlu diwaspadai untuk keamanan wilayah diperbatasan.

Penulis: Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur negara (LPKAN) Indonesia

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait