– Serial 10 P Untuk Marketing Politik
Denny JA
“Jika perbudakan itu tak salah, maka segala hal lainnya juga tak bisa disalahkan.”
Ini kutipan terkenal dari Abraham Lincoln. Kelak hilangnya perbudakan dalam peradaban modern, terutama di Amerika Serikat, acapkali dikaitkan dengan namanya.
Di tahun 1834, Usia Lincoln baru 24 tahun. Ia terpilih sebagai anggota konggres negara bagian Illinois. Itu jabatan politik pertama.
Tahun 1834 itu, Isu perbudakan tengah membelah Amerika Serikat. Isu ini pula yang ujungnya membelah negara itu dalam perang sipil selama 4 tahun. Yaitu perang yang nyaris membuat negara itu pecah.
Sejak menjadi politisi di negara bagian Illinois, Lincoln terus diobsesi oleh gagasan itu. Ujarnya berulang- ulang. Suatu hari kelak, perbudakan kulit hitam harus pergi dari Amerika Serikat. Tentu kulit putih dan kulit hitam tak bisa dipaksakan sejajar untuk segala hal. Tapi kulit hitam tidak dilahirkan untuk menjadi budak kulit putih.
Sebagai anggota konggres negara bagian, Lincoln juga berprofesi pengacara. Sejarah mencatat, ia beberapa terlibat membela budak kulit hitam.
Di tahun 1841, Lincoln selaku pengacara membela seorang budak wanita kulit hitam, bernama Nance Lence- Costley. Wanita ini mengklaim Ia dan anaknya sudah dibebaskan sebagai budak. Ia tak bisa dijual sebagai budak lagi.
Di tahun 1845, Ia membela Marvin Pond. Ini isu kemanusiaan. Marvin Pond disalahkan karena Ia menampung budak kulit hitam yang melarikan diri. (1)
-000-
Di tahun 1958, Lincoln terlibat dalam debat politik yang kini dikenang sebagai debat legendaris. Debat paling panjang. Debat paling membelah. Dan debat paling dikenang dalam sejarah politik modern.
Itu bukan debat presiden. Itu hanya debat dua calon senator negara bagian Illinois, Amerika Serikat.
Stephen Douglas terpilih menjadi senator di negara bagian itu di tahun 1946. Di tahun 1958, Ia maju lagi untuk terpilih ketiga kalinya.
Lawannya adalah Abraham Lincoln yang juga ingin merebut kursi senat Illinois itu. Dirancanglah dua tokoh itu dalam tujuh seri debat keliling di negara bagian tersebut.
Lama setiap debat 3 Jam. Pembicara pertama menghabiskan waktu 60 menit. Pembicara kedua membalas 90 menit. Sepanjang 30 menit terakhir mereka bebas berdebat, saling tanya. Saling jawab. Saling tangkis. Saling serang. Dalam 7 kali debat, mereka bergantian menjadi pembicara pertama.
Setiap kali debat ditonton langsung oleh sekitar 5000-7000 penduduk Illinois. Saat itu belum ada radio. Apalagi televisi belum hadir di tahun 1858.
Debat itu menjadi historik karena clash of mind, perbedaan posisi mengenai isu perbudakan. Douglas menegaskan sikapnya berkali- kali. Serahkan kepada rakyat setempat untuk memilih. Mereka harus dibolehkan memperpanjang perbudakan jika situasi politik dan ekonomi mereka menghendaki.
Sementara Lincoln terus menerus menyuarakan sikap yang berbeda. Untuk daerah yang baru, perbudakan harus dilarang.
Koran yang meliput debat ini juga terbelah. Yang pro hapus perbudakan memberitakan Lincoln lebih positif. Sebaliknya koran yang ingin melanjutkan perbudakan memberitakan Douglas lebih kuat.
Lincoln menang popular vote: 53.6 persen versus 46.4 persen. Tapi yang sah memilih bukan rakyat. Electoral College yang memilih. Yang akhirnya terpilih sebagai senat adalah Stephen Douglas. (2)
Lincoln tak terpilih. Namun sikapnya yang tegas atas penghapusan perbudakan, dan kecakapan pidatonya, membuat Lincoln menjadi figur nasional.
Lincoln bahkan menjadi calon presiden dua tahun kemudian. Tahun 1860. Lincoln pun kemudian terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat.
Kampanyenya soal hapus perbudakan terus menginspirasi. Ujarnya “Jika kekuasaan duniawi ini seluruhnya diberikan padaku, maka gerak pertamaku adalah menghapuskan perbudakan.”
-000-
Ketika Lincoln menjadi presiden termin pertama 1860- 1864, Amerika Serikat dilanda perang saudara. Isu perbudakan membelah. Perang terjadi antara negara bagian utara versus selatan. Perang sipil berkecamuk hanya sebulan setelah Lincoln dilantik sebagai presiden.
Di tahun 1864, Lincoln terpilih kembali sebagai presiden. Perang sipil mulai mereda. Dimulailah sejarah itu. Melalui amandemen konstitusi ke 13, Lincoln memimpin Amerika Serikat untuk menghapus perbudakan.
Maka mulai tahun 1865, semua jenis perbudakan dilarang. Siapapun yang tetap memelihara budak akan menjadi penjahat kriminal.
Lincoln terus mencari solusi pengakhiran budak secara smooth. Ia juga mengajukan pembelian budak oleh negara untuk dibebaskan. Agar pemilik budak tak dirugikan, budak itu dibeli negara. Oleh negara, atas nama konstitusi yang baru saja diamandemen, budak dibebaskan.
Lebih jauh lagi, Lincoln juga memperjuangkan, warga negara kulit hitam mempunyai hak untuk memilih dalam pemilu.
Bagi John Wilkes Booth, kehendak Lincoln memberikan kulit hitam hak untuk voting tak lagi bisa ia benarkan. Ia pun membuat rencana.
Tanggal 14 April 1865, Presiden Lincoln menonton drama di Teater Ford, Washington DC. John Wilkes Booth aktor panggung yang terkenal saat itu. Ia menembak Lincoln dari belakang. (3)
Tewas sudah Abraham Lincoln. Tapi perjuangannya menghapuskan perbudakan justru bertambah hidup.
-000-
Kisah Abraham Lincoln di atas sengaja dikutip sebagai pembuka. Betapa seorang politisi, setelah ia terpilih sebagai anggota konggres negara bagian Illinois di tahun 1834, terus berkampanye tiada henti. Sekitar 26 tahun kemudian, 1860, ia menjadi presiden Amerika Serikat.
30 tahun kemudian, dari tahun 1834, Lincoln terpilih kembali sebagai presiden kedua kalinya. Tiga puluh tahun Lincoln tetap berkampanye isu yang sama: hapus perbudakan!
Kini kita menyebut kampanye panjang Lincoln itu sebagai kampanye permanen. Walau sudah terpilih, kampanye terus berlanjut sebagai pemimpin.
Penulis merumuskan 10 P untuk marketing politik. P ke 9 dalam esai ini adalah Post Election. Politik setelah terpilih.
Walau sudah terpilih, kampanye seorang pemimpin tak henti. Karena tujuan seorang pemimpin bukan hanya untuk berkuasa dan terpilih. Tapi ia menggunakan kekuasaan itu mewujudkan visinya.
Setelah terpilih, kampanye tetap berlanjut. Bagaimana dunia akademik membahas politik post election? Apa itu kampanye permanen?
-000-
Kampanye permanen itu pola atau bentuk kampanye yang dilakukan oleh pejabat yang tengah memerintah (incumbent). Kampanye tersebut dilakukan secara terus menerus dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pekerjaannya setelah terpilih.
Incumbent bisa melakukan kampanye sepanjang waktu. Saat ia menjabat, Ia dapat mengadakan jumpa pers, kunjungan kerja, wawancara dengan media.
Secara teoritis, pejabat yang tengah memerintah lebih mempunyai kemungkinan untuk terpilih kembali. Hal ini karena incumbent bisa memanfaatkan sumber daya yang dipunyai untuk menarik dukungan pemilih.
Di Amerika dan Eropa, sejumlah studi menunjukkan secara jelas hal tersebut. Anggota Dewan Perwakilan (house of representative), senator atau gubernur yang tengah memerintah, rata-rata lebih dari 80% terpilih kembali ketika maju dalam pemilihan.
Yang menarik, di Indonesia cukup besar incumbent yang kalah dalam pemilihan ketika maju kembali dalam pemilihan. Kasus yang menarik adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada). Data dari Desk Pilkada, Departemen Dalam Negeri, sebanyak 47% kepala daerah (incumbent) yang maju dalam pemilihan kalah dalam Pilkada.
Steger (1999) mencatat di Amerika Serikat. Sekitar 90% anggota Dewan Perwakilan (House of Representative) dan 80% anggota senat terpilih kembali pada pemilihan selanjutnya.
Hebatnya, rata-rata kandidat incumbent di Amerika Serikat menang dengan margin (selisih dengan kandidat lawan) sangat besar, di atas 60%. Data ini menunjukkan potensi kemungkinan kandidat yang tengah memerintah (incumbent) untuk terpilih kembali sangat besar.
Menurut Steger (1999), faktor terpenting yang menyebabkan kandidat incumbent terpilih kembali karena mereka menjalankan kampanye permanen (permanent campaign). Kandidat incumbent mempunyai keuntungan dan akses yang tidak dipunyai oleh kandidat penantang.
Pertama, keuntungan finansial. Kampanye membutuhkan dana yang besar. Itu digunakan untuk kepentingan logistik, biaya perjalanan untuk menjangkau pemilih hingga biaya staf kampanye. Pejabat incumbent diuntungkan karena semua kegiatan itu bisa ditanggung oleh dana dari kantor pemerintah.
Pejabat incumbent bisa memanfaatkan staf di kantor, perjalanan dinas hingga fasilitas surat untuk menjangkau pemilih. Biaya kampanye menjadi lebih murah dan efektif.
Kedua, kandidat incumbent punya kesempatan untuk mendatangi pemilih sepanjang waktu. Ia tidak dibatasi hanya menjelang hari pemilihan. Sepanjang masa kerjanya, incumbent bisa datang ke daerah-daerah, mendengarkan suara pemilih, mencatat keluhan mereka dan sebagainya.
Dengan kesempatan yang besar dalam menjangkau pemilih, tidak mengherankan jika tingkat pengenalan pemilih pada kandidat incumbent sangat besar.
Rata-rata 90% pemilih di wilayah mengenal nama anggota Dewan Perwakilan (house opf representative). Sekitar 95% mengenal nama senat. Keuntungan semacam ini tidak dipunyai oleh kandidat penantang yang umumnya hanya berkampanye menjelang hari pemilhan. Kandidat penantang umumnya harus berjuang lebih dahulu agar bisa dikenal oleh pemilih.
Ketiga, akses media lebih besar. Pejabat yang tengah memerintah (incumbent) punya kesempatan untuk mendapatan akses liputan media yang lebih luas dibandingkan dengan kandidat penantang. Incumbent bisa membuat berbagai kegiatan. Misalnya Ia dapat melakukan konferensi pers, rilis program agar mendapatkan liputan luas media.
Di samping itu, kegiatan incumbent potensial mempunyai nilai berita. Ucapan, komentar, kunjungan incumbent oleh konsultan media dapat dikemas dengan baik.
Incumbent juga punya kesempatan untuk memperoleh liputan media dalam waktu panjang. Bahkan sepanjang masa pemerintahannya, Ia menjadi berita jika mampu mengelola hubungan dengan media dengan baik.
Keempat, pejabat yang tengah memerintah (incumbent) juga punya hubungan dan akses lebih besar pada penyandang dana. Pekerjaan incumbent bertemu dengan elit, pengusaha dan perusahaan membuat mereka punya akses pada sumber-sumber dana yang bisa dimanfaatkan pada masa kampanye.
Potensi mendapatkan dana jauh lebih besar dibandingkan dengan penantang. Dengan dana yang besar, kandidat incumbent bisa membuat kampanye menjadi massif.
Steger (1999:) mencatat di Amerika Serikat sebanyak 90% dari senat dan lebih dari 70% anggota Dewan Perwakilan beriklan lewat televisi. Kemampuan beriklan di televisi (yang mahal) ini acapkali tidak dipunyai oleh kandidat penantang.
Seorang pejabat (kepala daerah, senator, anggota house of representative) selalu berpikir dalam masa kerjanya. Bagaimana agar Ia bisa terpilih kembali dalam periode berikutnya.
Kegiatan yang mereka lakukan; mulai dari program kerja, kunjungan, mendatangi masyarakat diarahkan sebagai sarana untuk mendapat nilai tambah. Itu agar dalam pemihan berikutnya kandidat bisa terpilih kembali.
-000-
Tret and Friedenberg (2000) membuat suatu penelitian. Mereka memetakan pola dan bentuk-bentuk kampanye dari kandidat pemilihan di Amerika. Tret and Friedenberg (2004 menemukan adanya pola dan bentuk kampanye yang berbeda. Yaitu perbedaan antara kandidat yang tengah memerintah (incumbent) versus kandidat penantang.
Perbedaan itu bisa dilihat dari aspek simbolik; seperti citra atau image yang ingin ditampilkan oleh kandidat kepada khalayak.
Strategi incumbent berpusat pada keberhasilan dan kinerja pemerintahan. Ini dilakukan pada level simbolik dengan memberikan citra mengenai legitimasi dan kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan masalah. Problem solving.
Citra yang banyak diangkat juga personality pejabat pemerintah. Misalnya, Ia dekat dengan rakyat, perhatian, jujur.
Selain aspek simbolik, pejabat yang tengah memerintah (incumbent) juga menciptakan stratregi pragmatis untuk menarik dukungan pemilih.
Ini dilakukan paling tidak lewat lima cara.
Pertama, menciptakan peristiwa untuk mengontrol perhatian media. Pejabat bisa melakukan kunjungan, melemparkan satu isu, atau rencana kebijakan tertentu.
Kedua, membuat janji. Pejabat incumbent dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki bisa membuat kebijakan atau merencanakan kebijakan yang bisa langsung menarik perhatian pemilih.
Misalnya, incumbent menjanjikan kebijakan yang lebih populis lagi. Yaitu kesehatan dan pendidikan yang lebih murah. Ia ingin memperluas dukungan dari mayoritas pemilih yang berpendidikan rendah.
Ketiga, pemberian dana dan bantuan. Menurut Tret and Friedenberg (2000), incumbent umumnya bisa memberikan bantuan kepada wailayah tertentu dan mencitrakan seolah-olah bantuan itu adalah wujud dari kepedulian kandidat.
Misalnya, ketika ada bencana atau kerusakan di satu wilayah, pemerintah daerah bisa memberikan bantuan. Ia bisa melakukan perbaikan kerusakan secepatnya. Bantuan itu bisa dicitrakan sebagai bentuk kepedulian dari pejabat pemerintah (incumbent).
Keempat, incumbent juga bisa menciptakan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat. Dengan posisi sebagai pejabat dan berhubungan dengan banyak kalangan, incumbent umumnya membuat strategi pencitraan.
Misalnya dengan melakukan kunjungan ke pesantren, gereja, atau kelompok sosial lain dalam masyarakat.
Kelima, incumbent juga bisa ”memanipulasi” persoalan ekonomi dan persoalan domestik lain. Misalnya dengan mengatakan pertumbuhan ekonomi yang rendah akibat krisis global dan sebagainya. Akses pada media memungkinkan incumbent melakukan hal tersebut.
Kandidat lawan, penantang incumbent, punya strategi yang berlainan untuk menarik dukungan.
Pada level simbolik, kandidat penantang umumnya menampilkan dirinya sebagai sosok yang berbeda. Ini menampilkan sisi kontras dengan pejabat yang tengah memerintah.
Sosok yang kerap ditampilkan adalah sosok sebagai tokoh perubahan. Kandidat juga mencitrakan dirinya sebagai tokoh masa depan, yang bisa memberikan harapan lebih baik dan optimisme bagi pemilih.
Selain pada level simbolik, kandidat penantang juga melakukan strategi kampanye pada level pragmatis.
Umumnya, strategi yang dilakukan oleh kandidat penantang menyerang prestasi dan kebijakan yang dibuat oleh kandidat incumbent.
Yang diserang pertama kali prestasi dan kinerja incumbent. Ia mencari sisi kelemahan untuk mengklaim tidak ada perubahan yang berarti selama incumbent mempimpin.
Jika prestasi dan kinerja incumbent kurang bagus, kandidat penantang akan menyerang di sisi kebijakan. Jika kinerja incumbent bagus, kandidat akan menyerang sisi karakter dan kepribadian incumbent.
Penantang selalu mencari kasus. Misalnya affair dan skandal yang pernah dilakukan incumbent. Atau kasus korupsi yang dituduhkan padanya.
Penantang hanya bisa mengalahkan incumbent karena dua hal. Incumbent itu memang buruk sekali. Kinerja atau skandal pribadinya terlalu mengganggu.
Atau penantang itu bagus sekali. Ia memiliki program alternatif yang lebih kuat. Atau ia memiliki personality yang lebih memikat.
Untuk mengalahkan Incumbent, penantang memang harus ekstra. Ibarat balap mobil, Incumbent sudah mengebut lebih dulu. Untuk mengejar mobil itu, laju mobil penantang harus lebih cepat.
-000-
Seorang pejabat sudah puas jika ia terpilih kembali. Tapi seorang pemimpin lebih dari itu. Ia bukan hanya ingin terpilih kembali. Tapi passionnya, spiritnya kuat bergema. Kekuasaanya yang datang padanya, akan ia jadikan instrumen membangun masyarakat.
Sedini mungkin ia merenung. Di akhir jabatan, ia akan dikenang sejarah sebagai apa? Kontribusi apa yang ia lakukan untuk mengubah masyarakat? Memajukan peradaban? Meletakkan fondasi dunia baru?
Abraham Lincoln sejak terpilih menjadi anggota konggres di negara bagian, Iq memutuskan kampanye permanen untuk isu yang menjadi “love of my life.” Untuk Lincoln, isunya adalah penghapusan perbudakan.
Para pejabat dan pemimpin setelah terpilih, harus pula merenungkan itu. Setelah terpilih, post election, visi apa yang hendak ia kampanyekan secara permanen? ****
Juli 2020
Bersambung