Beritalima.com ( Pengalokasian tanah pertanian untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tahanan politik (Tapol/Napol), dan korban konflik merupakan mandat dari Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Salah satu poin utama dalam MoU Helsinki adalah reintegrasi ke dalam masyarakat, termasuk pengalokasian tanah pertanian bagi mereka yang terdampak.
MoU Helsinki menyepakati tujuh poin terkait amnesti dan reintegrasi, salah satunya adalah kewajiban Pemerintah RI untuk menyediakan tanah pertanian dan dana bagi Pemerintah Aceh. Tujuannya adalah memperlancar reintegrasi mantan kombatan GAM, serta memberikan kompensasi kepada tahanan politik dan korban konflik.
Menurut poin 32.5 MoU, Pemerintah Aceh bertanggung jawab untuk mendistribusikan tanah dan dana kepada mantan kombatan GAM, Tapol/Napol, serta korban konflik yang mengalami kerugian. Mereka yang tidak mampu bekerja akan menerima jaminan sosial yang layak.
Namun, hingga tahun 2024, alokasi tanah pertanian yang seharusnya diberikan belum sepenuhnya tuntas. Berdasarkan data yang ada, hanya sekitar 5.934 hektar tanah yang telah terdistribusi dalam bentuk hak komunal dan individu, dan baru sekitar 2.000 hektar yang dimanfaatkan.
Dari total 150 ribu penerima manfaat yang terdiri dari mantan kombatan GAM, Tapol/Napol, dan korban konflik, kebutuhan tanah pertanian diperkirakan mencapai 300 ribu hektar. Namun, Pemerintah Aceh masih harus menyediakan sekitar 294.066 hektar lahan lagi untuk memenuhi kebutuhan ini.Ucap Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, pada Jum’at- 13-09-2024.
Proses pengalokasian tanah juga menghadapi banyak tantangan di lapangan. Salah satu contohnya terjadi di Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya. Lokasi tanah yang ditetapkan merupakan kawasan hutan yang masih lebat, dan warga setempat menganggapnya sebagai sumber penghidupan.
Selain itu, penerima manfaat dari luar daerah, termasuk Banda Aceh, kerap tidak mengetahui lokasi tanah yang mereka terima. Bahkan, terdapat indikasi bahwa beberapa penerima manfaat menjual tanah tersebut kepada perusahaan kayu dengan harga 3 juta rupiah per orang.
Pada tahun 2023, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengirim surat kepada Gubernur Aceh terkait permohonan perubahan peruntukan kawasan hutan untuk lahan pertanian bagi mantan kombatan GAM, Tapol/Napol, dan korban konflik.
Beberapa kabupaten seperti Aceh Timur, Pidie Jaya, Gayo Lues, dan Aceh Selatan mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk keperluan tersebut. Namun, hasil penelaahan menunjukkan banyaknya tumpang tindih perizinan dengan izin hutan produksi, sehingga permohonan tersebut ditolak.
Selain masalah tumpang tindih perizinan, beberapa kawasan yang diusulkan juga merupakan habitat spesies kunci seperti gajah, harimau, dan orangutan. Ini menambah kompleksitas dalam upaya melepaskan kawasan hutan untuk alokasi tanah pertanian.
Dalam upaya mempercepat alokasi tanah, WALHI Aceh bersama Yayasan HakA dan organisasi masyarakat sipil telah menyusun *Policy Brief*yang bertujuan membantu Pemerintah Aceh memperlancar agenda reintegrasi.
*Policy Brief* tersebut menyarankan agar pemerintah mempercepat pemenuhan alokasi tanah yang sesuai dengan kriteria ekonomi, sosial, budaya, dan keberlanjutan lingkungan. Beberapa lokasi di Aceh Timur yang izinnya sudah berakhir, seperti HGU PT Damar Siput, diusulkan sebagai lahan pengganti.
Selain itu, WALHI Aceh juga merekomendasikan agar tanah terlantar dan area konsesi perkebunan yang tidak produktif dijadikan prioritas untuk dialokasikan kepada mantan kombatan, Tapol/Napol, dan korban konflik.
Roadmap yang jelas sangat dibutuhkan dalam proses reintegrasi ini, agar tanah yang dialokasikan benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal oleh mereka yang berhak menerimanya.
Dengan adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh, serta berbagai pemangku kepentingan, diharapkan masalah ini dapat segera diatasi agar tujuan reintegrasi dan rekonsiliasi sesuai dengan semangat MoU Helsinki dapat terwujud.”(**)