Achmad Baidowi : Revisi UU Desa untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dan Meminimalisir Urbanisasi

  • Whatsapp

Jakarta — Wakil Ketua Badan Legislatif ( Baleg) DPR RI, Achmad Baidowi optimis Revisi Undang-undang Desa yang aoan dibahas di DPR akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

”Dengan masa jabatan Kepala Desa yang jadi 9 tahun dan penambahan anggaran dana desa sekitar 2 miliaran akan mampu meningkatkan pembangunan desa sehingga aoan berdampak pada penibgkatan pendapatan masyarakat, ”kata Achmad Baidowi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam Forum Legislasi dengan tema *“Revisi UU Desa, Mampukah Pemerintah Desa Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat?” bersama anggota Baleg DPR Mardani Ali Sera (F-PKS) dan Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan di Media Center DPR, selasa (18/7/2023).

Menurut Politisi PPP yang akrab disapa Awiek ini kalau pembangunan desanya maju maka ekonominya juga akan maju. Sehingga arus urbanisasi dari desa ke kota itu bisa diminimalisir.

‘Saat ini, katanya, urbanisasi masyarakat dari desa ke kota masih cukup besar dan menjadi problem kota besar.

”Kalau desanya maju Insya Allah nanti masyarakat akan betah di situ tentu yang diinginkan pencapaian Kesejahteraan Rakyat bisa direalisasikan,’katanya.

Menurut anggota DPR dari Dapil Madura (Jawa Timur) ini dalam revisi UU Desa itu juga akan datur soal nasib kepala desa dan statusnya. Begitu juga dengan badan musyawarah desa. ” Paling tidak status masa jabatannya sama dengan kepala desa terus mendapatkan insentif untuk kepala desa juga kita atur,’katanya.

Sementara itu Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof.Dr. Djohermansyah Djohan menyebut bahwa pola penyeragaman dalam pengaturan desa merupakan salah satu masalah desa saat ini, di samping penyelenggaraan pembangunan desa.

“Pemerintah desanya, ya, cenderung diatur secara uniformitas, seragam, padahal desa itu beragam,” ucap pria yang akrab disapa Prof. Djo ini.

Prof. Djo menuturkan bahwa pada masa pendudukan Belanda di Tanah Air pun kedudukan desa diatur menjadi dua, yaitu Inlandscbe Gemeente Ordonnantie (IGO) yang hanya berlaku di Pulau Jawa, dan Inlandchse Gemeente Ordonnantie Buitengeweesten (IGOB) untuk luar Pulau Jawa.

“Itu diatur sendiri juga karena ada kecenderungan desa-desa di luar Jawa tidak sama dengan desa di Jawa, itu contohnya. Jadi, kolonial pun memperhatikan keadaan kultural dari desa dan tradisi masing-masing,” tuturnya.

Untuk itu, eks Dirjen Otda Kemendagri itu mengingatkan agar pembuat undang-undang berhati-hati dalam membuat aturan tentang desa yang menyeragamkan kondisi desa di berbagai wilayah Indonesia.

“Jadi sebaiknya memang ini juga hati-hati kalau bikin pola menyeragamkan, ya, semuanya itu perangkatnya diseragamkan, lalu pengaturan misalnya yang diseragamkan buat peraturan desa harus kayak begini, seragam bikin APBDes harus seragam,” ujarnya.

Prof. Djo menyatakan perlunya pembenahan tata kelola pengawasan dan pemerintahan Desa terlebih dahulu, sebelum merealisasikan rencana masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun. Pembenahan tata kelola yang dimaksudnya, ada 3 hal.

Pertama, penguatan pengawasan itu dengan menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai Sekretaris Desa (Sekdes). Dengan menempatkan Sekdes yang profesional dan berkompeten dari kalangan ASN atau PNS maka pengawasan terhadap Kades terutama soal penggunaaan anggaran dapat berjalan maksimal.

“Biasanya Sekdes dipilih dari orang dekat yang membantu Kades saat pemilihan. Hal ini menutup celah pengawasan, utamanya dalam hal penggunaan anggaran karena Sekdes tak kuasa menolak perintah Kades, sekalipun hal itu menyalahi aturan. Menolak perintah Kades bisa berujung pada pencopotan jabatan Sekdes,” tegasnya lagi.

Pembenahan tata kelola pengawasan Kades yang kedua adalah terkait pengawasan oleh lembaga diatasnya, yakni inspektorat di pemerintah Kecamatan dan Kabupaten.

“Fungsi ini seringkali berjalan tidak maksimal, karena itu pengawasan Kades oleh lembaga diatasnya harus diperkuat. Bikin inspektorat punya perangkat sampai kecamatan,” timpalnya.

Pembenahan yang ketiga, masih menurut Prof. Djo, yaitu pada Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

“BPD yang sedianya bisa menjadi pengawas jalannya pemerintah desa justru dikooptasi oleh pemerintahan desa itu sendiri,” tegas Djohan. (ar)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait