Ada Kwitansi Palsu Dalam Jual Beli Tanah di Jalan Agus Salim Madiun

  • Whatsapp

SURABAYA – beritalima.com, Sidang kasus pemalsuan surat dengan terdakwa Djie Kian Sioe, bos toko emas asal Madiun kembali digelar dengan agenda pemeriksaan dua saksi. Saksi menyebut tanda tangannya pada kwitansi telah dipalsukan.

Pada sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hendro Sasmito menghadirkan dua saksi yaitu Ferry Soetanto dan Suherman. Ferry yang diperiksa pertama kali menyebut dirinya telah membeli tanah yang berlokasi di Jalan Agus Salim, Madiun dengan sertifikat Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 2064.

Menurut Ferry, dirinya membeli tanah tersebut pada 2004 dengan harga Rp 530 juta. Sejak tanah itu dibelinya dari Sinjaya, dirinya sama sekali tak menaruh curiga karena memang tak ada masalah.

Namun, dirinya kaget saat mengetahui tiba-tiba muncul gugatan dari Djie Kian Sioe kepada Suherman dan Sinjaya. “Waktu beli saya sudah cek ke notaris dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), tak ada masalah dengan tanah tersebut. Tapi tiba-tiba keluar gugutan pada 2011,” jelas Ferry.

Dari gugatan tersebut, Ferry melalui pengacaranya curiga karena di kwitansi yang dijadikan bukti gugatan tertulis SHM Nomor 2064 dikeluarkan BPN pada 1995. “Padahal SHM atas tanah tersebut baru dikeluarkan BPN pada 1998. Ini kan aneh,” tegas Ferry di hadapan majelis hakim yang diketuai Pujo Saksono.

Salah satu hakim anggota yaitu Dwi Purwadi juga sempat bertanya apakah surat yang diduga palsu itu sudah dilakukan uji laboratorium, Ferry mengaku hal itu bukan kewenangannya. “Saya ini orang awam hukum,” jawab Ferry kepada hakim Dwi Purwadi.

Keterangan senada juga diutarakan saksi lainnya yaitu Suherman. Ia menjelaskan, namanya telah dicatut oleh terdakwa di kwitansi dengan keterangan telah menjual tanah SHM 2064. “Saya tidak pernah menjual ke terdakwa (Djie Kian Sioe). Malah tanda tangan saya dipalsu (di kwitansi),” beber Suherman.

Selain itu, Suherman juga menerangkan bahwa Djie Kian Sioe mempunyai utang kepadanya sebesar Rp 35 juta hingga Rp 40 juta. “Malah ia punya utang. Dan sudah lama, kalau ditagih cuma dijanjikan saja oleh tangan kanannya,” tambahnya lagi.

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam dakwaan dijelaskan bahwa kasus ini berawal dari kesepakatan jual beli sebidang tanah di Jalan Agus Salim antara Ferry Soetanto (pembeli) dan Sinjaya pada April 2004. Dari kesepakatan itu, dibuatlah akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 43 dan Akta Kuasa Nomor 44 dengan alas hak SHM Nomor 2064.

Namun akhirnya muncul terdakwa mengklaim tanah yang dibeli Ferry merupakan miliknya. Terdakwa mengklaim tanah tersebut dengan dasar kwitansi tertanggal 8 Desember 1995 yang ditandatangani oleh Suherman.

Dalam kwitansi tersebut tertulis bahwa Suherman telah menerima Rp 70 juta dari terdakwa untuk pembayaran tanah dengan SHM Nomor 2064.

Namun terdapat kejanggalan dalam kwitansi tersebut. Kejanggalannya yaitu SHM Nomor 2064 yang diterbitkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Madiun tanggal 8 Juli 1998 tetapi ditulis pada kwitansi tertanggal 8 Desember 1995. Sehingga tidak mungkin SHM Nomor 2064 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Madiun tanggal 8 Juli 1998 dapat ditulis pada kwitansi tertanggal 8 Desember 1995 atau tiga tahun sebelum terbit SHM tersebut.

Kejanggalan tersebut diperkuat dengan keterangan Suherman yang mengaku tidak pernah membuat surat pernyataan dalam kwitansi jual beli tertanggal 8 Desember 1995. Namun anehnya pada 22 Februari 2017, Churniawan selaku kuasa hukum terdakwa pada sidang perdata di Pengadilan Negeri Madiun mengajukan alat bukti surat berupa fotocopy kwitansi tersebut.

Akibat perbuatannya, terdakwa diancam pidana sesuai Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP. (Han)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *