Adaptasi Kebiasaan Baru Melalui Pendekatan Budaya dan Gaya Hidup

  • Whatsapp

JAKARTA – Situasi pandemi COVID-19 telah membawa banyak perubahan kepada  masyarakat hampir di seluruh dunia. Perubahan yang terjadi salah satunya masyarakat semakin peduli terhadap kesehatan dan juga kebersihan diri dan lingkungan. Kebiasaan seperti menggunakan masker jika keluar rumah, mencuci tangan dan menjaga jarak dengan orang lain kini sudah sangat melekat di setiap aktivitas kehidupan. Hal tersebut seakan menjadi norma atau budaya baru masyarakat Indonesia.
Berkaitan dengan hal ini, Sosiolog Universitas Airlangga Prof. Dr. Bagong Suyanto mengatakan bahwa kebiasaan baru yang muncul saat situasi pandemi ini harus didasarkan atas kesadaran masyarakat sendiri dan tidak bisa diterapkan secara paksa. 


“Pemerintah mengharapkan kebiasaan baru itu kan bukan dilakukan karena terpaksa. Tapi, dilakukan karena kesadaran, rasa tanggung jawab masyarakat sendiri,” ujar Prof. Bagong saat dialog di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Jakarta, Jumat (24/7). 
Lebih lanjut, Prof. Bagong juga menjelaskan bahwa pemerintah telah melakukan upaya untuk membantu masyarakat dalam beradaptasi dengan kebiasaan baru melalui aturan-aturan hukum yang telah berlaku dan yang terpenting adalah dengan cara persuasi.
“Jadi yang kita pahami mereka juga korban itu, korban COVID-19, tidak mungkin kita meminta mereka mengembangkan budaya baru, cara hidup baru, perilaku yang baru, hanya dengan ancaman sanksi,” jelas Prof. Bagong. 


Pada beberapa waktu terakhir ini, pemerintah turut melakukan kolaborasi dengan para selebriti mulai dari micro celebrity dan celebrity influencer diminta untuk membantu melakukan edukasi kepada masyarakat tentang adaptasi kebiasaan baru selama masa pandemi COVID-19. Selain itu, pendekatan yang dilakukan untuk melakukan edukasi kepada masyarakat juga harus disesuaikan dengan latar belakang mereka masing-masing agar tersampaikan lebih efektif.
“Subjek itu tidak mungkin bisa meratakan. Jadi, harus dipahami. Subjek itu partikularistik. Jadi, dia punya masing-masing komunitas itu punya subkultur yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, idiom-idiom percakapan yang berbeda, ya,” tegas Prof. Bagong.
Pada kesempatan yang sama budayawan Teater Koma Sari Madjid mengungkapkan, sekarang dunia pertunjukkan seni juga sudah mulai menerapkan kebiasan baru tersebut di dalam kegiatannya. 
“Memang ada beberapa versi. Maksudnya gini, kaya misalnya di tari, mereka juga sudah mulai membuat kostum dengan ada face shield tapi, itu menjadi bagian dari kostum. Ada juga yang masker menjadi bagian dari kostum,” jelas Sari.

Sari mengatakan bahwa pembuatan aturan-aturan tentang penggunaan properti saat pertunjukkan di masa pandemi juga sudah dikoordinasikan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Aturan tersebut di antaranya adalah tentang penggunaan alat rias dan kostum bagi para aktor.
“Sebetulnya begini, kemarin juga kita diminta untuk bersama-sama, kaya Kemenparekraf bikin aturan. Karena kan, prosedurnya banyak nih, kalau mau pertunjukan kita. Belum make-up, alat make-up-nya harus sendiri-sendiri, gitu kan. Terus kostum, kostum juga tidak boleh gantian. Jadi, kalau kostum ya memang masing-masing,” ujar Sari.
Meski masih dalam tahap adaptasi, para seniman kini sudah berusaha untuk membuat kebiasaan baru tersebut menjadi _lifestyle_ mereka sehingga bisa tetap produktif berkarya di masa pandemi COVID-19.
Sebagai penutup, Prof. Bagong dan Sari sepakat bahwa untuk merubah kebiasaan baru ini menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia maka diperlukan pendekatan yang berbasis lifestyle. Pemberian reward dan punishment juga akan efektif untuk membudayakan kebiasaan baru pada masyarakat. 

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait