Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Sebagaimana kita saksikan via banyak media beberapa hari lalu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjenguk budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito. Sebagaimana diwartakan oleh Tempo online (nasional.tempo.co 9/7/2023) Presiden Jokowi yang dalam kunjungan itu didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno datang sekitar pukul 10.00 WIB dan meninggalkan rumah sakit sekitar pukul 10.30 WIB. Cak Nun sendiri sebelumnya memang sakit yang mengharuskannya dilarikan ke rumah sakit pada Kamis siang 6 Juli 2023 dan masih dirawat hingga saat ini. Sejumlah kolega menginformasikan, bahwa Cak Nun dikabarkan mengalami pendarahan otak akibat riyawat stroke yang dideritanya.
Meskipun tidak ada kejelasan apakah saat itu Presiden Jokowi bertemu langsung dengan sang budayawan kondang, tetapi momen itu tetaplah menarik bagi masyarakat luas baik yang pro maupun yang kontra. Yang pasti, menurut Kepala Bagian Hukum, Organisasi dan Humas RSUP Dr. Sardjito, Banu Hermawan, Presiden telah bertemu dengan istri Emha, Mbak Novia (Kolopaking) dan putranya Mas Sabrang (Mowo Damar Panuluh).
Kehadiran presiden ke rumah sakit tersebut menarik karena sebelumnya keduanya telah meramaikan jagad medsos, akibat ucapan Cak Nun. Sebagaimana banyak disaksikan sebelum ini bos Kiai Kanjeng itu dalam satu ceramahnya, antara lain menyebut Presiden Jokowi sebagai Fir’aun. Banyak kalangan menyayangkan sikap Emha. Tidak berapa lama, lelaki asal Jombang itu pun konon minta maaf dan menyebut alasan ucapannya itu timbul akibat ‘kesambet’. Tentu cerita mengenai dua orang itu (Jokowi dan Emha) tidak dapat kita sebut sebagai perseteruan. Sebab suatu perseteruan terjadi, jika kedua belah pihak saling membenci. Sama dengan pertengkaran yang biasanya terjadi jika kedua belah pihak saling berhadapan dan bahkan saling menyerang. Sedangkan dalam “kasus Firaun” tidak ada dua kubu yang saling berhadapan. Sebab, ‘serangan’ itu hanya muncul dari satu pihak dan pihak yang diserang sama sekali tidak menanggapi. Sikap Pak Jokowi saat disebut Fir’aun oleh Emha mungkin lebih tepat jika dikatakan masuk dalam peribahasa: “Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.” Kafilah itu ialah Pak Jokowi yang tetap menganggap angin lalu semua stigma (negatif) yang diberikan Cak Nun kepadanya.
Dari jejak digital kita dapat mengetahui, bahwa selama ini Cak Nun memang menunjukkan sikap ‘kurang bersahabat’ dengan sosok mantan wali kota Solo ini. Berbagai ucapan bernada ‘sinis’ sering ia lontarkan di depan jamaah pengajiannya. Tetapi selama itu pula hampir tidak pernah terdengar, ayah Gibran ini memberikan reaksi. Padahal, sebagai orang nomor satu di negeri ini, beliau bisa bereaksi apa pun. Dalam konteks era orde baru, ucapan Cak Nun yang super pedas itu tentu sudah memberikan tiket gratis masuk hotel prodeo (penjara). Akan tetapi, sebagai alumni Gajah Mada Pak Jokowi tampaknya tahu masa-masa kejayaan penulis buku “Slilit Kiai”, ini yang pernah dikagumi dan menjadi idola banyak mahasiswa Yogyakarta pada tahun 80-an, saat Pak Jokowi mungkin juga masih menjadi mahasiswa.
Terlepas dari pro kontra mengenai sikap Cak Nun terhadap Pak Jokowi selama ini dan apa pun latar belakang kunjungan Pak Jokowi, adegan di RS Sardjito merupakan adegan tingkat tinggi, khususnya jika dipandang dari sudut dunia tasawwuf. Tasawwuf merupakan sikap mental yang senantiasa memelihara kesucian diri, ibadah, menjalani kehidupan dengan sederhana, hingga muncul sikap rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bijaksana. Dalam tataran implementasi seorang sufi biasanya terus melatih jiwa dengan berbagai kegiatan spiritual yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia yang tercermin dalam bentuk akhlak mulia.
Banyak pihak adegan di Rumah Sakit Sardjito itu, tampaknya telah menobatkan Pak Jokowi sebagai seorang sufi tingkat tinggi. Seorang teman dalam medsosnya bahkan menulis, bahwa ketika ada 2 orang yang dianggap wali oleh orang banyak, maka wali yang sebenarnyalah yang akan menjadi pemenang. Sang teman yang mantan pengamat itu, tampaknya ingin mengatakan, bahwa selama ini akibat sikap nylenehnya banyak yang menganggap Emha sebagai wali, tetapi teman tadi selama ini juga menganggap, bahwa akibat kesederhanaannya dan ketulusannya membangun negeri dan segenap kelebihan lainnya, Pak Jokowi juga seorang ‘wali’. Dan ternyata, menurutnya Pak Jokowilah wali yang sesungguhnya, karena dia telah mampu mengalahkan dirinya sendiri. Dia berhak sakit hati, berhak marah, berhak melakukan pembalasan dari yang selama menyampaikan hinaan dan cercaan. Padahal, dengan kapasitasnya sekarang, semua tentu bisa beliau lakukan. Tetapi, semua itu tidak beliau lakukan. Justru sebaliknya dengan besar hati mengelus saat orang yang selama ini mencercanya, mendapat musibah. Bukan malah nyukurne.
Bagi yang pernah membaca sirrah nabawiyah (kisah perjalanan hidup nabi) tentu tahu, bahwa adegan tersebut merupakan adegan tingkat tinggi. Disebut adegan tingkat tinggi karena perilaku Pak Jokowi itu mirip dengan yang pernah dicontohkan oleh manusia dengan derajat paling tinggi rasulullah SAW, yaitu ketika beliau menjadi orang pertama yang menjenguk wanita renta Yahudi yang setiap hari meludahinya saat beliau hendak pergi ke masjid. Sebagai kepala negara dan adegan itu sudah terlihat, semoga sikap beliau beliau mengedukasi seluruh bangsa.