Jakarta | beritalima.com – “Hari ini saya katakan, seluruh kota di Indonesia nilainya masih kotor. Tidak satu pun yang layak Adipura Kencana”
Pernyataan ini ditegaskan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq, bahwa kebersihan visual saja tidak cukup; sebuah kota baru layak Adipura jika sistem pengelolaan sampahnya menyeluruh dan mampu menghentikan kebocoran sampah ke perairan.
Lebih lanjut Menteri LH secara resmi meluncurkan skema baru Program Adipura yang lebih tegas, substantif, dan terintegrasi dari hulu hingga hilir. Targetnya jelas: Indonesia Bebas Sampah 2029. Adipura kini menjadi instrumen yang merepresentasikan pengelolaan sampah secara komprehensif—mencakup kebijakan, anggaran, sumber daya manusia, partisipasi publik, hingga fasilitas pengolahan—serta memastikan sampah tidak lagi mencemari sungai dan laut.
Dalam keterangan persnya yang diterima beritalima.com, Jum’at (8/8/2025) ada empat tingkatan penghargaan ditetapkan yakni Kota Kotor, Sertifikat Adipura, Adipura, dan Adipura Kencana. Tambahnya, dua pelanggaran langsung menggugurkan kota dari seleksi ialah adanya tempat penampungan sementara (TPS) liar dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang beroperasi dengan metode pembuangan terbuka (open dumping).
“Begitu ada TPS liar atau TPA-nya masih buang terbuka, langsung kami coret. Tidak ada ampun, karena ini bukan soal estetika, tapi soal masa depan lingkungan kita,” ujar Menteri Hanif.
Ditambahkannya, TPA open dumping tidak hanya berpotensi membiarkan sampah mencemari sungai dan laut melalui aliran air permukaan, tetapi juga dapat mencemari air tanah dan perairan daratan seperti rawa atau danau melalui rembesan (leachate) yang tidak terkendali.
Penilaian Adipura dilakukan secara berkala selama tujuh bulan berturut-turut oleh pejabat struktural KLH/BPLH yang aktif membina kabupaten/kota. Pendampingan ini dirancang terintegrasi dengan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Air serta Mutu Laut sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menempatkan “sampah” sebagai parameter baku mutu air sungai maupun air laut.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah nasional pada tahun 2025 diperkirakan mencapai lebih dari 50 juta ton, dengan potensi sekitar 20 juta ton di antaranya terbawa aliran sungai, pesisir, dan kawasan perairan menuju laut jika tidak ditangani. Kebocoran sampah ini berdampak serius terhadap ekosistem, termasuk memicu eutrofikasi—ledakan pertumbuhan alga yang menurunkan kadar oksigen di perairan dan mengancam kelangsungan hidup biota air.
Pengelolaan sampah yang terintegrasi dan efektif akan memperkuat upaya pengendalian pencemaran di badan air sungai dan laut, karena infrastruktur dan kebijakan memastikan sampah tidak ada yang mencemari lingkungan. Melalui pendekatan infrastruktur yang menyeluruh—mulai dari pemilahan di sumber, pengumpulan terpilah, TPS3R, fasilitas daur ulang, hingga pengoperasian TPA yang hanya menerima residu—Adipura memutus aliran sampah sebelum mencapai badan air.
“Kami tak hanya memberi penghargaan, tapi juga sanksi. Tidak bisa lagi berlindung di balik baliho hijau. Kota harus siap berubah,” tegas Menteri Hanif, seraya menekankan bahwa komitmen ini akan menjaga kualitas air sungai dan laut dari ancaman sampah domestik maupun plastik.
KLH/BPLH memperkirakan investasi Rp300 triliun dibutuhkan untuk memperkuat infrastruktur pengelolaan sampah nasional, termasuk pembangunan TPS3R, TPST, fasilitas waste-to-energy, dan RDF. Pendekatan ini tidak hanya mempercepat penanganan sampah di darat, tetapi juga mengendalikan beban pencemar terhadap mutu perairan.
“Negara maju tak membebani anggaran negaranya untuk urusan sampah. Sampah harus jadi uang. Kita akan ke arah sana,” pungkas Menteri Hanif.
Tegas Hanif, pengelolaan sampah modern bukan hanya melindungi lingkungan, tetapi juga menggerakkan ekonomi sirkular. Lanjutnya, Sekretaris Utama KLH/BPLH, Rosa Vivien Ratnawati, menegaskan bahwa sistem Adipura terbaru dirancang objektif, transparan, dan berbasis indikator terukur.
“Untuk bisa meraih Adipura, sebuah kota harus memenuhi seluruh parameter secara sistematis. Tidak boleh ada TPS liar, TPA wajib minimal controlled landfill, dan minimal 25 persen sampahnya harus benar-benar terkelola,” ujar Rosa Vivien.
Parameter ini, kata Rosa, tidak hanya mencerminkan kinerja pengelolaan sampah, tetapi juga menjadi tolok ukur sejauh mana kota mampu menjaga ekosistem sungai dan laut tetap bersih.
“Ini bukan hanya soal nilai, ini soal keseriusan. Setiap angka mewakili keputusan strategis yang diambil kepala daerahnya. Tahun ini, penilaian tidak bisa dimanipulasi,” tegas Rosa Vivien.
Peluncuran Adipura Baru ini menjadi momentum perubahan struktural pengelolaan sampah nasional. KLH/BPLH mengajak masyarakat untuk ikut mengawasi kinerja pemerintah daerah dan memulai perubahan dari rumah: memilah sampah, mengurangi plastik, dan mengurangi beban TPA.
Adipura bukan hadiah, tapi hasil dari kerja kolektif. Kita tidak sedang mencari pemenang, kita sedang menyelamatkan bumi,” tutup Menteri Hanif, menegaskan bahwa setiap langkah kecil mengurangi sampah adalah kontribusi langsung menjaga sungai dan laut Indonesia.
Jurnalis : Dedy Mulyadi

