Agama Bukan Ancaman, LaNyalla: Pancasila Tidak Bisa Diperas Jadi Trisila dan Ekasila

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Maraknya penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) belakangan ini mendapat perhatian khusus anggota MPR RI dari kelompok DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Hal itu disampaikan senator dari Dapil Provinsi Jawa Timur itu dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR di hadapan sekitar 50 pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) se Jawa Timur di Surabaya, Minggu (28/6). Acara digelar dengan menerapkan protokol kesehatan yakni memberi jarak antara kursi peserta dialog.

Dikatakan LaNyalla yang juga Ketua DPD RI itu, lima Sila dalam Pancasila sudah final dan tidak bisa diperas lagi dalam pemaknaan Trisila maupun Ekasila karena kelima sila tersebut saling berurutan dari Sila pertama hingga melahirkan tujuan hakiki bangsa ini di Sila kelima.

“Dan, Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama, termasuk Islam. Artinya Islam bukan ancaman bagi Pancasila. Justru komunisme dan kapitalisme ancaman sebenarnya bagi Pancasila,” tandas LaNyalla seperti keterangan tertulis Biro Humas dan Pemberitaan DPD RI.

Lebih jauh LaNyalla menjabarkan, sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki arti ber-Tuhan, artinya melaksanakan ajaran agamanya. Dalam Islam, artinya menjalankan Syariat Islam. Dan syariat Islam paling fundamental adalah mendirikan shalat dan berbuat amal kebajikan.

Dengan mendirikan shalat berbuat amal shaleh, sudah bisa mencegah manusia Indonesia dari perbuatan keji dan mungkar. “Nah, kalau seluruh anak bangsa ini menjalankan ajaran agamanya, dan kita sudah mencegah perbuatan keji dan mungkar, maka Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab akan terwujud. Apa artinya? Rakyat hidup di negeri ini mempunyai moral, akhlak, adab dan sikap yang baik dan luhur,” tegas LaNyalla.

Dengan situasi itu, masyarakat Indonesia akan bersatu, saling menghargai perbedaan suku, agama dan perbedaan lainnya. Masyarakat Indonesia akan hidup dalam keber-adab-an dengan budi pekerti luhur. Dalam situasi itu, terwujudlah Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Persatuan yang terjadi atas kesadaran diri, bukan atas
paksaan atau tekanan.

“Lalu apa yang terjadi setelah orang menjalankan agamanya dan beradab ini bersatu? Munculah orang-orang yang bijaksana sebagai perwakilan untuk bermusyawarah dengan tujuan menemukan pemimpin bangsa ini. Itulah makna Sila keempat. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dalam Permusyawaratan Perwakilan,” papar LaNyalla.

Jika keempat Sila telah dilaksanakan, bangsa yang kaya dan besar ini bakal dipimpin pemimpin yang Hikmat dalam mengabdi untuk bangsa dan negara. Dan, jika hal ini terwujud, Indonesia akan menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur. Yaitu terwujudnya Sila kelima yang merupakan cita-cita akhir para pendiri bangsa Indonesia, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

LaNyalla menegaskan, kalimat Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung dua frasa penting, yaitu kata Keadilan Sosial dan kata Seluruh Rakyat. Artinya, adil dalam kacamata sosial itu bukanlah sama rata sama rasa atau membiarkan siapa yang mampu bertahan hidup. Tetapi mana yang harus dibantu, mana yang tidak, mana yang harus disubsidi, mana yang tidak.

“Orang miskin atau kurang beruntung harus mendapat keadilan dengan biaya kesehatan gratis. Biaya pendidikan gratis, dan lainnya. Sementara yang mampu atau kaya, tidak boleh mendapatkan perlindungan negara semacam itu. Karena itu, dalam konstitusi kita disebutkan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Itulah makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegas dia.

Jadi, sambung LaNyalla, wajar adanya banyak penolakan RUU HIP dari seluruh elemen bangsa ini. Terutama dari MUI, NU dan Muhamadiyah. Karena hal itu bermuara pada sikap dan pandangan umat Islam, bahwa Pancasila itu sudah final dan sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Quran. Tidak perlu diberi tafsir baru lagi, apalagi dimaknai dalam Trisila dan Ekasila.

Karena itu, lanjut senator kelahiran Jakarta, 10 Mei 1959 tersebut, DPD RI sepakat membentuk Tim Kerja guna menelaah lebih dalam serta secara komprehensif terhadap RUU HIP itu, untuk nantinya DPD RI menyatakan sikap secara kelembagaan. Apakah RUU ini harus disederhanakan hanya sebagai payung hukum Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saja, atau memang tidak perlu ada.

Pandangan yang sama juga diutarakan anggota Komisi Kajian Konstitusi MPR RI, Jamal Aziz. Dia mengatakan, Pancasila sudah final dengan urutan sila yang terkandung di dalamnya. Sila pertama melahirkan sila dua, sila kedua melahirkan sila ketiga, sila ketiga melahirkan sila keempat dan sila keempat melahirkan sila kelima.

“Ini sudah final dan ini yang melahirkan para kyai terdahulu. Sehingga menurut saya, penjabaran pak LaNyalla itu sudah mewakili, sangat mewakili. Apalagi pak LaNyalla ini dari Pemuda Pancasila. Implementasinya sudah pas,” ujar Jamal Aziz.

Peserta sosialisasi, Gus Zahrul Azhar As’ad atau yang lebih akrab Gus Hans mengatakan RUU HIP memang meresahkan masyarakat. Apalagi banyak informasi yang simpang siur di media sosial. “Karena itu saya sempatkan datang untuk mendengarkan perspektif utuh apa sebenarnya yang dimaksud HIP. Dan, mudah-mudahan langkah pak LaNyalla yang selalu berkeliling Jatim dan Indonesia bisa mencerahkan,” demikian Zahrrul Azhar As’ad. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait