Agama: Dari Penghambat Menuju Penopang Kemajuan?

  • Whatsapp

Catatan Kecil untuk Denny JA

(Review Buku Denny JA, 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama, dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama, 2021)

 
Oleh Rumadi Ahmad
Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Lakpesdam PBNU
 
 
SALAH satu hal yang khas dari Denny JA adalah membungkus dan mendasarkan gagasan-gagasannya dengan data.

Data yang dia ajukan biasanya berdasar studi-studi kuantitatif, survei dan angka-angka indeks yang sulit dibantah. Data-data tersebut dia susun, diberi makna untuk membangun argumentasi.

Dalam buku yang kita bahas ini, Bergesernya Pemahaman Agama, Denny JA begitu pintar menata argumen dengan data dan angka.

Tentu saja kita masih bisa memperdebatkan kesimpulan-kesimpulan yang diambil.
 
Persoalan yang dibahas sebenarnya tema lama, hubungan antara agama dan kemajuan. Bahwa banyak orang yang menaruh curiga bahwa agama–terutama Islam—tidak kompatibel, bahkan menjadi penghambat kemajuan, sudah lama diperdebatkan.

Ada pertanyaan penuh gundah yang sangat masyhur dari Syakib Arsalan, seorang tokoh kelahiran Libanon (1869-1946): “mengapa kaum muslim pada umumnya terbelakang dan yang lain mengalami kemajuan?”.

Meski tema lama, tapi Denny JA mengulas dan membangun argumentasi dengan segar. Denny JA sangat pandai membawa dan memengaruhi pikiran pembaca buku ini dengan data-data kuantitatif.

Dia pun tidak ragu untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan berdasar argumentasi yang ditata, misalnya: di negara yang indeks kebahagiaannya tinggi (World Happiness Index), umumnya level beragama masyarakatnya rendah; di negara yang tingkat beragamanya tinggi (Religiosity Index), pemerintahannya cenderung korup; di negara yang pembangunan manusianya tinggi (Human Development Index), tingkat beragama masyarakatnya cenderung rendah.

Juga kesimpulan: masyarakat yang tingkat beragamanya tinggi, memiliki kecerdasan rata-rata (Cognitive Test Measurement) lebih rendah dibandingkan masyarakat yang tingkat beragamanya lebih rendah.  

Dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut, Denny JA begitu yakin bahwa cara beragama masyarakat muslim banyak mengandung masalah. Kalau dunia Islam mau maju, maka cara beragamanya harus diperbaharui.

Nah, buku ini berusaha untuk menunjukkan jalan yang harus ditempuh agar agama tidak menjadi penghambat kemajuan, antara lain: perlu menggeser kesadaran dalam beragama, dari cara beragama yang mengakui kebenaran mutlak dari agama yang dipeluk, menjadi model beragama sebagai kekayaan kultural yang cair dan milik bersama.

Jika jalan ini ditempuh, maka akan terjadi perkembangan dunia yang lebih harmonis, semakin kultural, dan keragaman didukung kesadaran kolektif.
 
Gagasan Denny JA ini sangat penting di tengah proyeksi kehidupan umat Islam yang terus berkembang.

Apalagi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, Inggris, dan Jepang, misalnya, Islam menduduki peringkat tertinggi dalam perkembangan dan penambahan pemeluknya, baik karena migrasi maupun konversi.

Proyeksi peta agama dunia yang dirilis Lembaga riset demografi Pew Reseach Center (PRC) pada April 2015 yang berjudul: “The Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050 harus didorong ke pertumbuhan Islam yang tidak menghambat kemajuan.

Riset PRC mengolah data umur, tingkat kelahiran dan kematian, data migrasi dan perpindahan agama pada populasi delapan kelompok agama mayoritas.

Pada tahun 2010, populasi delapan agama mayoritas di dunia adalah: Kristen (31,4%); Islam (23,2 % atau 1,6 milyar pemeluk); Hindu (15 %), Budha (7,1 %); agama local (folk religion, 5,9 %); Yahudi (0,2 %); agama tak berafiliasi (unaffiliated, 16,4 %) seperti ateisme dan agnostic; agama lainnya (0,8 %).  
 
Proyeksi yang dibuat PRC pada 2050, populasi muslim menanjak paling tinggi menjadi 29, 7 % (2,76 milyar pemeluk). Kristen stabil di angka 31,4 %. Prosentase mulim dan Kristen diperkirakan sama pada tahun 2070 dengan angka 32,3 %.

Tiga dekade berikutnya, 2100 muslim menjadi 34,9 %, dan Kristen 33,8 %). Riset ini juga mencatat: ateisme, agnostic, dan kaum tak beragama meski meningkat di beberapa Negara seperti AS dan Perancis, namun secara global menurun dari 16,4 % (pada 2010) menjadi 13,2 % (pada 2050).

Sedangkan agama-agama yang lain seperti Hindu, Budha, dan Yahudi tidak banyak mengalami pergesesan hingga empat dekade mendatang.

Dalam konteks inilah Buku Denny JA mempunyai makna yang sangat penting, yaitu memberi arah agar perkembangan populasi muslim tersebut bergerak ke arah yang lebih positif yang bisa mendukung demokrasi dan kesejahteraan.

*
 
Saya ingin memperkaya pembahasan buku Denny JA ini dengan mengemukakan sudut pandang lain yang dikemukakan Ahmed T Kuru, seorang akademisi berkebangsaan Turki yang sekarang menjadi dosen di San Diego University AS.

Bukunya berjudul Islam, Authoritarianism and Underdevelopment (2019) menyita perhatian banyak kalangan dan baru saja diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Kuru juga mempunyai pertanyaan yang kurang lebih sama dengan Denny JA: mengapa umat Islam di berbagai belahan dunia secara politik sering terjatuh pada otoritarianisme dan secara ekonomi terbelakang?

Menurutnya, ada dua pendekatan dominan yang biasa digunakan sebagai pandang, meski keduanya, menurut Ahmet T Kuru, tidak memuaskan.
 
Pertama, cara pandang internal-esensialis yang memandang keterbelakangan Islam karena di dalam diri Islam itu sendiri mengandung ajaran-ajaran yang bermasalah.

Kalau mau terhindar dari otoritarianisme  maka elemen-elemen ajaran dari Islam itu yang harus diperbaiki, atau minimal ditafsir ulang.

Cara pandang seperti ini, menurut Kuru tidak sepenuhnya tepat. Dengan menggunakan ajaran yang sama umat Islam dalam periode sejarah tertentu pernah menguasai peradaban dunia justru di saat Barat sedang berada pada masa kegelapan.

Pada abad ke-8 sampai 12 M masyarakat muslim menunjukkan kecemerlangan luar biasa dalam berbagai bidang yang menunjukkan Islam cocok dengan kemajuan.
 
Kedua, cara pandang eksternal yang menuduh kolonialisme Barat atas negara-negara muslim yang berlanjut dengan eksploitasi sumberdaya alamnya sebagai penyebab kemunduran dunia Islam.

Cara pandang inipun ditampik Ahmet T Kuru karena, menurutnya, jauh sebelum terjadi kolonialisme Barat besar-besaran, dunia Islam sudah mengalami kemunduran, baik dari sisi ekonomi dan politik.

Jadi tidak tepat mengkambinghitamkan kolonialisme Barat.
 
Ahmet T Kuru mengajukan jawaban lain. Otoritarianisme dan keterbelakangan dunia Islam lebih banyak disebabkan karena adanya persekutuan ulama-negara dan rente minyak di sebagian besar negara berpenduduk muslim.

Persekutuan tersebut, menurut Kuru, membawa dampak besar terhadap dunia Islam, yaitu hilangnya otonomi ulama dan pedagang. Relasi antara kelas keagamaan (ulama), politik,  intelektual, dan ekonomi menjadi penggerak utama di balik otoriritarianisme dan keterbelakangan dunia muslim.
 
Ulasan Denny JA dan Ahmet T Kuru tentu menggunakan sudut pandang yang berbeda meski berangkat dari fakta yang sama, yaitu kemunduran dunia Islam.

Berbeda dengan Kuru yang berusaha memahami dan berteori, Denny JA melangkah lebih jauh, bukan hanya memahami tapi menawarkan sejumlah solusi.
 
Solusi yang ditawarkan Denny JA dengan memetik pesan-pesan universal agama yang disebut sebagai 10 mutiara yang dia sebut sebagai intisari agama (h. 109-122).  Spiritualitas yang dibangun di atas 10 mutiara tersebut bukan saja akan menjadikan seseorang beragama secara otentik, tapi juga terbuka dengan kemajuan-kemajuan baru.
 
Akhirnya, harus saya katakana: percikan pemikiran Denny JA ini merupakan wujud kecintaan Denny JA pada agama yang dia yakini.

Dia berusaha menyalakan lilin agar Islam menjadi agama yang menopang kemajuan, bukan agama yang justru mendestruksi kemajuan. **

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait