JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior di Komisi XI DPR RI yang juga seorang ekonom, Dr Hj Anis Byarwati menyampaikan sejumlah catatan pada Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indarawati beserta jajarannya secara virtual awal pekan ini.
Raker membahas tentang Lembaga Pengelola Investasi (Sovereign Wealth Fund) yang telah resmi tercantum dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker). Sovereign Wealth Fund (SWF) merupakan istilah baru dalam kancah perekonomian Indonesia.
Menurut Investopedia, SWF adalah badan pengelola dana investasi yang dimiliki negara. Dana yang dikelola bisa berasal dari cadangan devisa milik bank sentral negara, akumulasi surplus perdagangan maupun surplus anggaran, dana hasil privatisasi, maupun penerimaan negara dari ekspor Sumber Daya Alam (SDA).
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mendefinisikan SWF sebagai kendaraan finansial dimiliki negara yang mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke aset-aset luas dan beragam. Fungsi SWF untuk stabilisasi ekonomi, terutama meningkatkan investasi dan tabungan masyarakat.
Pada kesempatan itu, Anis mengingatkan Menkeu, sejauh ini terdapat resiko yang dimiliki negara penerima investasi yang tercermin dari munculnya kekhawatiran mengenai dampak politis yang kemungkinan muncul atau sengaja dibawa negara investor. Kekhawatiran ini timbul karena dua hal utama, yaitu: pada kenyataannya dikontrol entitas nasional dan bukan investor swasta dan jumlah entitas yang terlibat relatif kecil.
Dua hal itu kemudian menyebabkan timbulnya kekhawatiran penggunaan SWFs sebagai salah satu bentuk soft power, dimana SWFs merupakan strategi pengambilalihan dalam mengejar tujuan nasional di negara penerima investasi. Kekhawatiran ini diperburuk dengan kurangnya transparansi dalam pengoperasian pengelolaan dana tesebut oleh negara investor.
“Kementerian Keuangan dan kementerian BUMN harus benar-benar siap menghadapi resiko bawaan berupa soft power dari investor SWF, yang akan dihadapi indonesia sebagai negara penerima investasi melalui LPI,” ujar Anis.
Ketua bidang Ekonomi dan Keuangan DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengingatkan Menkeu dan Menteri BUMN agar waspada mengenai beberapa isu negatif tentang SWF yang dikemukakan berbagai peneliti.
Diantara isu negatif itu antara lain: semakin besar dana yang mereka kelola akan semakin besar dampaknya pada pasar keuangan dunia, adanya kepemilikan oleh asing di perusahaan nasional membuat banyak orang mengkhawatirkan masalah keamanan nasional karena motif investasi mereka seringkali dikhawatirkan punya tujuan politik yang terselubung serta transparansi laporan hasil kinerja mereka sangat buruk.
Anis menyampaikan data, berdasarkan laporan dan pernyataan dari OECD, terdapat resiko proteksionisme mengancam ekonomi dunia dan SWF sehingga dalam prakteknya baik dari sisi investor maupun investee, terdapat dua prinsip yang harus dipenuhi, yaitu non discrimination dan transparency.
Jika itu dapat tercapai, ekonomi internasional semakin terintegrasi dengan semakin berkembang dan intensnya arus modal internasional yang aman dan menguntungkan bagi semua pihak, baik pemilik maupun penerima modal. “Sebagai ‘pemain baru’ dalam SWF, Indonesia perlu menyiapkan berbagai hal untuk memenuhi prinsip-prinsip tersebut, khususnya prinsip transparansi,” tegas Anis.
Doktor Ekonomi Islam ini juga menyampaikan, berdasarkan karateristiknya, SWF memiliki ciri-ciri, yaitu: sovereign, High foreign currency exposure, No explicit liabilities, High risk tolerance dan Long investment horizon.
“Kementerian Keuangan harus bisa menjelaskan kelima karakterisitk tersebut dengan SWF yang potensial akan diterima Indonesia,” kata wakil rakyat dari Dapil Jakarta Timur tersebut.
Kemenkeu juga harus memiliki kajian, dalam kurun waktu berapa lama SWF dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Disertai mitigasi resiko yang muncul dengan adanya SWF, sehingga Kemenkeu bisa merumuskan Langkah-langkah strategis penanggulangannya,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)