JAKARTA, beritalimacom— Berakhirnya sidang ke-4 kasus dugaan penodaan agama oleh Ahok menurut Kuasa Hukum Basuki Tjahja Purnama, Dr. KPHA Tjandra Sridjaja Pradjonggo, SH. MH saat wawancara khusus dengan wartawan beritalima mengatakan dalam pemeriksaan Saksi-Saksi sejak pukul 09.00 hingga Jam 20.00 WIB dipersidangan diperoleh fakta yang sangat memprihatinkan terkait kejujuran dan motif dari para pelapor sebagaimana telah diketahui oleh Pers, yang mengikuti jalannya persidangan tersebut, dalam perkara dugaan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (BTP) sebenarnya adalah perkara yang amat sederhana tetapi karena telah diolah sedemikian rupa sehingga mengakibatkan kegaduhan yang luar biasa dengan sarat muatan kepentingan politik.
“Dari persidangan diperoleh fakta-fakta yang mengarah adanya dugaan terafiliasinya pelapor dengan Ormas tertentu, ataupun kepentingan Politik tertentu terkait Pilkada DKI,” ungkapnya Tjandra, Rabu, (04/01) di Jakarta.
Menurutnya ada yang penting terkait hal itu antara lain yaitu keterangan Habib Novel, Sekretaris Dewan Syuro FPI DKI Jakarta yang secara tegas menerangkan AlMaidah 51 adalah multi-tafsir sehingga tidak bersedia menjawab pertanyaan terkait (hanya mau memaksakan sesuai kehendaknya saja). Demikian juga Habib Muchsin, Imam FPI DKI Jakarta yang menerangkan Awliyah memang mempunyai beberapa arti (sahabat, teman setia, pelindung, imam, pemimpin) tetapi dia hanya mau berpegang pada arti pemimpin saja (pokoknya).
“Dan menerangkan orang Islam yang tidak sepaham dengan dirinya terkait perkara ini dikatakan orang Islam yang tidak beriman. Gus Joy menjawab 75% pertanyaan dengan lupa dan tidak bisa menjelaskan “Siapa Yang Membohongi dan Siapa Yang Dibohongi” dengan jawaban sekedar : lupa, awalnya mengaku sebagai Advokat kemudian mengakui bukan Advokat serta akhirnya mengakui bahwa dia adalah pendukung salah satu Cagub DKI. Syamsu Hilal menerangkan mendasarkan interpretasinya sesuai keyakinannya sendiri tidak perlu melakukan kajian (pokoknya),” papar dia.
Terbukti semua Pelapor tidak berada ditempat kejadian, ketika mendapat informasi per SMS tidak ada niat untuk mengingatkan demi kebaikan yang merupakan bagian dari Fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba berbuat kebaikan) dan tidak melakukan Tabayyun (klarifikasi kepada BTP terlebih dahulu) tetapi langsung membuat Laporan Polisi sekitar tanggal 6-7 Oktober 2016.
“Para pelapor belum pernah melaporkan orang lain terkait Pasal penistaan agama Islam sebelumnya, tetapi khusus pidato BTP yang lebih dari 1 jam 40 menit hanya dinilai dari potongan 13 detik saja dan langsung seperti terkomando bersama-sama membuat laporan polisi, sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan besar ada agenda apa dibaliknya ?? Banyak ketidak sesuaian dan kejanggalan antara Bukti Laporan Polisi tanggal 6-7 Oktober 2016 dengan dibuatnya BAP sekitar lebih 3 minggu kemudian yang dijawab sederhana oleh Para Saksi / Pelapor : Polisi salah ketik (padahal kesalahan substansial a.l. kata : ….. pakai …. ).,” tukasnya.
Menurut JPU, Imbuh Tjandra bahwa, para Saksi tidak perlu membuktikan laporannya, pihaknya menjawab tidak minta membuktikan tetapi sesuai dengan Pasal 185 KUHAP Saksi harus dinilai kebenaran keterangannya termasuk motif (etikad) dan ternyata dari pemeriksaan Saksi / Pelapor tersebut menunjukkan adanya dugaan kebohongan maupun motif yang tidak baik.
“Tentunya proses penegakan hukum terhadap kasus BTP tersebut akan menorehkan catatan sejarah dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” tambahnya. (so)