JAKARTA, Beritalima.com– Penasihat Fraksi Partai Golkar MPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, penanganan terorisme dan radikalisme sudah harus digeser dari yang selama ini dari sikap refresif dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi preventif.
Hal tersebut dikatakan politisi senior Partai Golkar ini pada diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema ‘Penanaman Nilai-Nilai Kebangsaan Untuk Menangkal Radikalisme Bagi Generasi Muda’ yang digelar di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (5/4).
Selain Agun, yang sudah tujuh periode wakil rakyat dari Dapil X Provinsi Jawa Barat, juga tampil sebagai pembicara Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani dan politisi senior Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) MPR RI, Achmad Dimyati Natakusumah.
Soalnya, lanjut anggota Komisi XI DPR RI tersebut, belakangan ini aksi kekerasan, teror dan tindakan anarkis lainnya lebih banyak muncul dalam pemberitaan baik media cetak, elektronik maupun media sosial (medsos) lainnya sifatnya represif, karena itu, penanganannya harus preventif atau sebelum aksi dilakukan.
Agun yang juga Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI mengatakan, kita bisa melihat pemberitaan kegiatan dan program-program Pemerintah termasuk bagaimana tindakan Densus Polri yang sifatnya refresif. “Upaya -upaya penangkalan bahaya radikalisme kelihatannya tidak akan pernah bisa tuntas dan selesai bahkan persoalan-persoalannya terus tumbuh.”
Apalagi, lanjut Agun, fungsi representative yang dijalankan Partai Politik (Parpol) sampai sekarang lebih banyak kelihatan daripada preventif. Namun, Agun menyambut baik bahkan mengapresiasi adanya diskusi, mengenai aksi teror terkait peristiwa di Makasar dan di Mabes Polri belum lama ini yang sangat mengagetkan semua pihak
Semakin kaget lagi, kata dia, karena pelaku di Mabes Polri adalah seorang wanita lajang dan usianya masih 25 tahun sebagaimana penjelasan yang diberikan oleh Divisi Humas Mabes Polri. Hal ini menunjukkan ada kecendrungan bahwa gejala-gejala aksi teror dilakukan secara personal tidak lagi dalam kelompok.
Sebagai anggota MPR, Agun juga menyinggung tentang sosialisasi Empat Pilar dilakukan MPR RI yang kewenangannya sangat terbatas, termasuk anggarannya. Menurut Agun, sampai hari ini pada aspek lembaga Partai Politik dalam menjalankan fungsi representative, justru terjadi “polarisasi ideologi nasional kebangsaan.
Akibatnya kebijakan yang dilahirkan dan dikeluarkan tidak responsif terhadap aspirasi keinginan publik, sehingga selalu muncul pro dan kontra.
Artinya, sempat terjadi tarik-menarik kepentingan dua pihak yang saling bertentangan atau berlawanan.
“Padahal, upaya perlindungan terhadap wanita, terhadap anak anak menjadi kebutuhan dalam konteks demokrasi kekinian, dan terkait lagi dalam konteks digitalisasi dan lain sebagainya,” kata Agun.
Agun juga menyebutkan, yang terjadi di lingkungan parpol hari ini justru polarisasi ideologi nasional kebangsaan. Ini boleh jadi, terjadi polarisasi ideologi Pancasila.
Akibatnya kebijakan yang dilahirkannya atau yang dikeluarkan adalah yang juga tidak responsif terhadap aspirasi keinginan publik, sehingga yang ada selalu pro dan kontra.
Karena terjadi polarisasi, ideologi politik kita memang pada akhirnya pro dan kontra ini makin menguat. Akibatnya kebijakan publik yang dilahirkan pada akhirnya lebih banyak diselesaikan dalam bentuk kompromi politik yang lebih pada tataran pragmatisme.
“Saya terbuka. Saya melakukan kritik terhadap partai politik hari ini, yang terjadi adalah pragmatisme. Contoh Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, itu diusulkan sudah begitu lama, bahkan sudah masuk prolegnas dan sampai hilang. Sekarang masuk lagi. Ini adalah contoh terjadi polarisasi ideologi,” demikian Agun Gunandjar Sudarsa. (akhir)