Agung Asnanto Bingung, Menang Gugatan Perdata Tapi Masih Diadili di Kasus Kredit Macet BNI

  • Whatsapp

SURABAYA – beritalima.com, Agung Asnanto Soelaiman, mantan Direktur PT Atlantic Bumi Indo (ABI) menjalani sidang pemeriksaan saksi pada kasus kredit macet sebesar Rp 28,3 miliar di Bank Negara Indonesia (BNI) Kanwil Surabaya. Senin (25/7/2022) lalu.

Awal persidangan dibuka, sempat terjadi protes dari tim kuasa hukum Agung Astanto kepada Jaksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya. Penyebabnya, karena kejaksaan dianggap membingungkan dengan mengabaikan putusan perkara perdata nomor 326/Pdt.G/2019/PN.Sby yang sudah dimenangkan Agung Astanto.

“Klien kami sudah menang gugatan di perkara ini mulai tingkat PN, PT hingga Kasasi Yang Mulia. Putusannya Pak Agung menderita kerugian materil akibat Atlantic Bumi Indo wanprestasi terhadap kewajiban pembayaran utangnya kepada BNi sebesar Rp. 74.745.926.862 dan kepada BRI sebesar Rp. 55.453.163.460,” kata kuasa hukum Agung Astanto. Tugianto Lauw.

Menanggapi hal itu ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana tetap melanjutkan persidangan, dengan saran agar putusan perdata yang dipunyai terdakwa Agung Astanto tersebut dapat dimasukkan dalam nota pembelaan.

“Jadi tetap jalan (sidang), silahkan putusan perdata itu anda masukkan dalam nota pembelaan. Minggu lalu kan kuasa hukum terdakwa sudah kami berikan kesempatan mengajukan eksepsi, tapi ditolak,” kata hakim Cokorda.

Kemudian sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi Karyawan BNI Kanwil Surabaya.

Banyak hal yang dijelaskan saksi Rahmat Gumilar terkait proses kredit Agung Astanto selaku direktur PT ABI di BNI Kanwil. Misalnya, mengenai awal permohonan diajukan, kelengkapan data pendukung, analisa kredit, pencairan kredit dan pengawasan kredit.

“Tanggal 20 Mei 2014, PT ABI mendapatakan kredit modal kerja pertama dari BNI Kanwil sebesar Rp 50 miliar. Rinciannya Rp 20 miliar dalam bentuk Pre Financing dan Rp 30 miliar Post Financing. Pre Financing adalah kredit modal kerja yang diberikan untuk membiayai kebutuhan awal kontrak atau proyek. Sedangkan Post Financing adalah untuk membiayai tagihan,” katanya di Pengadilan Tipikor Surabaya.

Dalam keterangan lainnnya, saksi Rahmat juga menjelaskan bahwa setelah mendapatkan fasilitas kredit sebesar itu, esok harinya terdakwa Agung Astanto berdasarkan kontrak dengan PT Bukit Asam (BA) dan Suplier CV Bumi Indo Energi (BIE) langsung melakukan pencairan sebesar Rp 3 miliar.

“Lalu tanggal 29/8/2014 sebesar Rp 3,8 milar, 15/9/2014 sebanyak Rp 3,8 milar dan 9/12/2014 sebesar Rp 19 miliar melalui 5 kali pencairan,” jelasnya di muka persidangan.

Sementara saksi Ayu menerangkan, untuk kredit ke 2 PT ABI mendapatkan fasilitas Pre Financing sebesar Rp 35 milar dan sudah ditarik sebesar Rp 24,6 miliar.

“Sedangkan untuk plafond Post Financing sebesar Rp 5 ditarik Rp 3 miliar. Penarikan dapat dilakukan kapan saja selama masih tersisah kelonggaran tarik, tanpa harus menunggu pembayaran dari penarikan-penarikan sebelumnya,” terangnya.

Saksi Ayu juga menerangkan untuk kredit ke 2 tersebut, sudah dibayar lunas oleh PT ABI.

“Dari 62 rekening penarikan, 47 dibayar dan sisanya yang 14 rekening belum. Masih ada out standing yang belum terbayar selama 2 tahun sejak 2014 sampai 2016,” sambungnya.

Saksi Akbar dari bagian remedial BNI Kanwil menyebutkan bahwa pihaknya sudah berupaya melakukan penyelamatan debitur PT ABI dari kolektabilitas 5 atau macet total, namun langkanya mengalami kegagalan.

“Per Mei 2021 outstanding hutang pokok yang macet Rp 59,3 miliar denda, bunga dan biaya lain-lain Rp 21,7 miliar,” sebutnya.

Sejak kredit PT ABI mengalami kemacetan, dia sudah 2 kali melakukan lelang tapi tidak ada peminat, yaitu tanah kosong di Balikpapan, tanah dan rumah di Bantul, Jogja

“Tanah kosong di Sleman, Jogja 4 kali lelang tidak ada peminat, bangunan di rumah di Surabaya 2 kali lelang tidak ada peminat. Upaya penagihan dan somasi juga sudah kami lakukan namun diabaikan,” sambungnya.

Dihadapan majelis hakim saksi Akbar juga menyebutkan bahwa untuk jaminan PT ABi yang ada di Sleman, Jogja beberapa waktu yang lalu sudah terjual dengan harga Rp 2,1 miliar.

Ditanya kuasa hukum Agung Astanto, Tugianto Lauw apakah invoice yang macet dari supplier PT ABi tidak diback up dengan jaminan Letter of Credit (LC),?

“Untuk Pre Financing jaminan pokoknya adalah kontrak, sedangkan untuk Post Financing berupa agunan yang kita bayar pertagihan. Jadi Bapak, jaminan pokoknya adalah proyek, jaminan tambahannya adalah aset tanah dan bangunan,” jawab saksi Rahmat.

Ditanya lagi, apakah jaminan tambahan tersebut nilainya melebihi dari total pinjaman Agung Asnanto di BNI,? Dijawan Rahmat sudah mewakili.

Dikejar kenapa jaminan untuk Pre Financing pada PT ABI tidak juga di back up dengan Bank Garansi? Dijawab Akbar tidak.

“Sebab dasar dari pembiayaan pada PT ABi ini adalah kontrak, meski tetap di batasi pencairannya. Untuk pencairan Pre Financing tetap harus melampirkan invoice dari supplier termasuk kontrak Pre Financing juga wajib dilaporkan” jawabnya.

“Selama ini kontraknya dengan ABI juga tidak dipersyaratkan adanya Bank Garansi maupun LC,” sambung saksi lainya yaitu Ayu.

Ditanya, proteksi apa yang sudah diberikan BNI terhadap debiturnya PT ABI,? Sebab faktanya dari 62 penarikan, 47 penarikan sudah dibayar oleh PT ABI sedangkan sisanya yang 14 penarikan, belum.

“Kami sudah melakukan monitoring yang mendalam, kenapa itu belum terbayar. Kami juga sudah melakukan konfirmasi terkait perjanjian antara ABI dengan pihak buyer, namun disitu tidak disebutkan Bank Garansi maupun LC. Makanya kami tidak bisa melakukan itu. Dalam kontrak PT ABI juga tidak disebutkan,” tandas saksi Ayu.

Mengakhiri persidangan, tim penasihat hukum terdakwa Agung Asnanto mengajukan permohonan pengalihan status penahanan.

“Ijin majelis, kami mengajukan permohonan pengalihan penahanan Pak Agung Asnanto dari tahanan rutan menjadi tahanan kota,” kata Yanti Purwani, salah seorang tim penasihat hukum terdakwa Agung Asnanto diakhir persidangan.

Dikonfirmasi setelah sidang, Tugianto Lauw menjelaskan, mengenai kerugian negara dalam putusan perkara perdata nomor 326/Pdt.G/2019/PN.Sby dinyatakan adalah menjadi tanggung jawab Eko Wiji Santoso selaku komisaris PT ABI.

“Terlebih lagi didepan persidangan Eko Wiji dinyatakan secara sah dan meyakinkan yang menggunakan uang bank BNI. Eko Wiji bersama Rinie Susan adalah pembeli saham ditahun 2017 setelah saham PT. ABI dibeli lalu oleh keduanya mengajukan kredit ke BNI tanpa melibatkan Agung Astanto. Mereka mengajukan sendiri berdasarkan RUPS 2017 bahwa saham Agung Astanto sudah dibeli oleh Eko Wji Santoso,” jelasnya. (Han)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait