MALANG, beritalima.com|
Pada 23 Desember lalu, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani larangan penjualan rokok per batang (ketengan). Larangan itu dimuat dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023. Larangan tersebut didasari oleh usulan Kementerian Kesehatan yang mengungkap peningkatan perokok pemula di Indonesia selama dekade terakhir.
Sementara itu menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan realisasi
penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) periode Januari-Oktober 2022
sebesar Rp171,33 triliun. Nilai itu tumbuh 19,15% secara tahunan (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tumbuh 10,16%. Bahkan perolehan APBN dari cukai sebesar 97%.
Menanggapi fenomena tersebut, anggota DPRD provinsi Jatim Dr drs Agus Dono Wibawanto MHum menuturkan bahwa sesungguhnya pemerintah itu tidak menghendaki masyarakat merokok. Tujuannya hanya satu, yaitu demi kesehatan.
“Tetapi enggak semudah itu untuk kemudian seluruh warga Indonesia tidak boleh merokok. Meskipun, semua kebijakan tentang dilarang merokok ini disosialisasikan ke semua sektor, di sekolah, di kantor, di mall dll,” papar wakil ketua DPW partai Demokrat Jatim ini.
Gus Don, panggilan akrab Agus Dono Wibawanto, mengungkapkan, selama ini pemerintah memiliki ketergantungan terhadap penghasilan pajak cukai tembakau. Dan uang tersebut dipergunakan untuk membantu masyarakat, membangun infrastruktur jalan, membangun infrastruktur sekolah, fasilitas umum, kesehatan, pendidikan.
“Jadi tidak mungkin pemerintah benar-benar tidak memperbolehkan seluruh warga Indonesia untuk merokok. Kebijakan yang diimplementasikan tersebut, hanya untuk membatasi, menekan agar masyarakat sadar terhadap bahaya merokok. Ke depannya pemerintah berharap masyarakat bisa sehat dan terhindar dari berbagai resiko akibat merokok,” terangnya.
Anggota komisi B DPRD provinsi Jatim ini menyebutkan bahwa pihaknya meminta agar pemerintah bersikap bijaksana dalam membuat peraturan. Karena penjual rokok ketengan atau batangan ini adalah masyarakat kelas bawah. Baik penjual maupun pembeli adalah masyarakat berpenghasilan rendah.
“Mereka mendapatkan nafkah dari menjual rokok eceran. Begitupun para pembeli adalah masyarakat kelas bawah, seperti tukang bangunan, tukang becak ataupun para pedagang di pasar tradisional. Merokok bagi mereka seperti menghilangkan sesaat kepenatan mereka saat bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya,” sambungnya.
Karena itu, Gus Don meminta agar pemerintah tidak semena-mena membuat peraturan yang tidak memihak kepada rakyat kecil.(Yul)