SURABAYA – beritalima.com, Dr. Arovah Windiani, ahli hukum perdata dan Dr. Choirul Huda, ahli hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jogjakarta dihadirkan Henry J Gunawan dan Iuneke Anggraini dalam kasus ‘akta nikah palsu’ yang mendudukan keduanya jadi pesakitan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Kamis (28/11/2019).
Dalam sidang diruang Garuda 1, terjadi perdebatan antar ahli hukum perdata, Arovah dengan jaksa Ali Prakoso saat ditanyakan mengenai pemahaman mengenai tata cara perkawinan Tionghoa yang dilakukan oleh kedua terdakwa.
“Tidak tau,” kata Arovah menjawab pertanyaan jaksa Ali Prakoso.
“Kalo tidak tahu ya saya tidak akan bertanya lebih jauh lagi soal keabsahan perkawinan adat ini,” sahut jaksa Ali Prakoso.
Tak hanya itu, perdebatan juga terjadi antara Jaksa Ali Prakoso dengan ahli pidana, Choirul Huda pada saat ditanya terkait pasal 266 KUHP apakah delik aduan atau bukan delik aduan.
“Menurut ahli apakah pasal 266 ini merupakan bukan delik aduan?,” tanya Jaksa Ali Prakoso.
“Anda jangan membandingkan pendapat saudara dengan saya, ya memang bukan delik aduan” jawab Choirul Huda.
Kemudian jaksa Ali Prakoso juga bertanya mengenai pendapat Choirul Huda mengenai apa yang dimaksud dengan memberi keterangan dalam pasal 266 KUHP.
“Misal contohnya ada seseorang yang mengatakan dirinya suami dan istri dalam pembuatan akte otentik apakah itu bisa disebut sebagai sebuah keterangan ?,” tanya Jaksa Ali Prakoso.
“Ya itu adalah sebuah keterangan”,jawab Choirul Huda.
Persidangan perkara ini akan dilanjutkan satu minggu lagi dengan agenda ahli meringankan lainnya yang dihadiri oleh kedua terdakwa.
“Sidang hari ini dinyatakan selesai dan kembali dilanjutkan hari Kamis, tanggal 5 Desember,” ucap hakim Dwi Purwadi menutup persidangan.
Usai persidangan, JPU Ali Prakoso menganggap keterangan kedua ahli hukum yang dihadirkan kedua terdakwa justru dianggap menguntungkannya.
“Jelas menguntungkan kami sebagai penuntut umum. Seperti keterangan ahli perdata tadi, Dia dihadirkan sebagai ahli perkawinan, tapi ketika kita tanya tentang tata cara perkawinan adat Tionghoa saja dia tidak tau, bagaimana kita bisa yakin kalau perkawinan yang dilakukan kedua terdakwa ini bisa dikatakan sah oleh ahli, sementara dia saja tidak tau perkawinan Tionghoa seperti apa, dia tidak tahu,” kata Ali Prakoso saat dikonfirmasi usai persidangan.
Sedangkan terkait pendapat ahli pidana, Choirul Huda, masih kata Ali Prakoso, Pihaknya telah menemukan poin dari pendapat ahli pidana yang dinilai singkron dengan pasal yang didakwakan.
“Tadi dia (Ahli Pidana) menerangkan kalau di Pasal 266 intinya keterangan itu harus substansi dari isi perjanjian. Tapi kalau kita dilihat di Pasal 266 sendiri nggak ada itu. Bunyi pasalnya yang menyatakan keterangan dalam suatu akta ini harus spesifik, keterangan seperti ini harus keterangan yang substantif tidak ada. Intinya itu tetap aja keterangan diakta otentik. Dipasalnya sendiri nggak ada menyebut itu,” jelasnya.
“Saksi juga menegaskan kalau pasal 266 itu adalah bukan delik aduan, artinya siapapun yang merasa dirugikan bisa melapor,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Kronologis perkara ini dimulai dari pembuatan 2 akta yakni perjanjian pengakuan utang sebesar Rp 17 milliar dan personal guarantee yang dibuat oleh PT Graha Nandi Sampoerna sebagai pemberi hutang dan Henry J Gunawan sebagai penerima hutang di hadapan notaris Atika Ashiblie SH di Surabaya pada tanggal 6 Juli 2010.
Dalam kedua akta tersebut Henry J Gunawan dan Iuneke Anggraini mengaku sebagai pasangan suami istri (Pasutri) dan faktanya, mereka baru resmi menikah secara agama Budha di Vihara Buddhayana Surabaya pada 8 November 2011 dan dinikahkan oleh pendeta Shakaya Putra Soemarno Sapoetra serta baru dicatat di Dispenduk Capil pada 9 November 2011. (Han)