SURABAYA – beritalima.com, Dosen Pidana Universitas Airlangga (Unair) Dr Bambang Suheriadi SH MH diperiksa pada dugaan kasus korupsi pemotongan insentif di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Gresik dengan terdakwa Andhy Hendro Wijaya (AHW).
Dalam sidang, ahli diminta menjelaskan tentang pasal 12 e dan f UU Tipikor tentang pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Menurut ahli, pasal 12 e diadopsi dari pasal 423 KUHP, perbuatan itu dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang mengakibatkan si korban secara psikis merasa dirugikan. Contoh,
si korban dengan terpaksa membayar hingga akhirnya si korban menerima hasil yang lebih rendah.
“Konsep pasal 12 e ini bakal jadi persoalan kalau ada ancaman sebelumnya sehingga si korban dengan terpaksa melakukan sesuatu,” kata ahli.
Sedangkan soal pasal 12 f, menurut ahli diadopsi dari pasal 425 KUHP. Artinya, perbuatan tersebut dilakukan oleh si pelaku pada saat dia sedang menjalankan tugasnya. Misalnya, bendahara pada kas umum suatu lembaga negara memotong hak pegawai, seolah-olah dia mempunyai hutang yang wajib dibayar, padahal diketahui itu bukan merupakan suatu hutang.
“Disini dia terpaksa membayar karena ada potongan,” terang saksi.
Ditanya oleh penasehat hukum terdakwa, bagaimana kalau yang dipotong ikhlas dan tidak merasa keberatan, ?
Saksi menjawab, perbuatan tersebut tidak masuk dalam pasal 12 e dan f, sebab konsep memotong, adalah hak si korban dikurangi sebelum dia terima.
“Ketika uang sudah masuk ke rekening pribadi milik korban, maka uang itu sifatnya sebagai uang sah. Unsur memaksanya tidak masuk. Tapi lebih dari meminta,” jawab
Bagaimana kalau misalkan yang meminta penyetoran adalah orang yang bukan menjalankan tugasnya,? Itu tidak bisa disebut, sebab dalam pasal ini dikhususkan saat menjalankan tugas.
“Rasionalitas pasal 423 KUHP harus dipegang,” papar ahli.
Bagaimana kalau orang yang memerintahkan juga dipotong haknya,?Ahli menjawab, pengertian unsur dari memotong atau membayar dari pasal 12e dan f tidak klop.
“Ketika uang sudah masuk ke rekening miliknya sendiri, maka uang itu sifatnya sebagai uang sah. Konsep memotong adalah dikurangi sebelum diterima. Terkecuali kalau tidak mau membayar akan ada ancaman,” jawab ahli.
Menurut ahli, kalau uang itu sama-sama dianggap tidak sah, maka pihak pemberi dan penerima sama-sama dapat dipidana atas ketidaksahnya perolehan uang tersebut.
“Bukan dari mana perolehan uang itu berasal, tapi lebih penting bagaimana penggunaan uang itu,” tandasnya.
Ditanya lagi, sejak kapan seseorang dianggap turut serta sesuai pasal 55 KUHP, ? Saksi menjawab sejak ada kerjasama secara sadar. Sarat turut serta harus bersama-sama dengan tujuan yang sama pula.
Terkait tindak pidana berlanjut. Menurut ahli, adalah seseorang yang melakukan beberapa perbuatan dimana antara perbuatan itu mempunyai hubungan sedemikian rupa.
“Perbuatannya harus sejenis dan ada suatu kesamaan kehendak,” papar ahli.
Untuk diketahui, Terdakwa Andhy Hendro Wijaya (AHW) didakwa dengan pasal berlapis. Pada dakwaan ke satu, Jaksa mendakwa dengan Pasal 12 huruf e, Jo Pasal 18 UU Tipikor, Jo Pasal 64 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan dalam dakwaan ke dua, Terdakwa Andhy Hendro Wijaya didakwa melanggar Pasal 12 f, Jo Pasal 12 huruf f, Jo Pasal 18 UU Tipikor, Jo Pasal 64 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Andhy Hendro Wijaya ditetapkan tersangka berdasarkan pengembangan dari pertimbangan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya atas terdakwa M. Muchtar, Plt Kepala BPPKAD Gresik pada Kamis 12 September 2019 lalu. (Han)