Jakarta, beritalima.com| – Anggota Komisi X DPR RI, Ahmad Dhani Prasetyo, menekankan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya terkait mekanisme royalti musik. Ia menyoroti adanya interpretasi keliru mengenai siapa yang dimaksud sebagai pengguna karya cipta, yang dinilainya merugikan pencipta lagu.
“Dalam Undang-Undang Hak Cipta itu tidak pernah disebut TIO (ticketing online operator) sebagai pengguna. Hak Cipta itu mengatur hubungan antara pencipta dan penyanyi. Kalau kemudian pemerintah menginterpretasikan bahwa pengguna itu adalah TIO, jelas itu menyalahi konsep dasar UU Hak Cipta,” ujar Ahmad Dhani dalam Forum Legislasi terkait UU Royalti di DPR RI, Jakarta, (26/8).
Menurut Dhani, tafsir yang keliru telah berlangsung cukup lama dan berdampak pada tidak maksimalnya hak ekonomi yang diterima oleh komposer. Ia memperkirakan, sejak 2014 hingga 2025, potensi royalti dari penjualan tiket konser yang semestinya menjadi hak pencipta lagu bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
“Bayangkan dari tahun 2014 sampai sekarang, berapa banyak konser, berapa banyak tiket yang terjual lewat platform daring. Kalau hak komposer dipungut 2 persen saja, nilainya bisa 100 miliar. Sampai hari ini tidak ada pihak yang bertanggung jawab,” papar legislator dari Fraksi Partai Gerindra itu.
Ahmad Dhani menambahkan, celah tafsir dalam regulasi menjadi titik lemah yang harus ditutup dalam revisi UU Hak Cipta. Jika tidak, katanya, kerugian bagi komposer akan terus terulang di masa depan. “Kalau pengguna hak cipta ditafsirkan keliru, komposer akan terus dirugikan. Kita harus hati-hati dalam menafsirkan kata di undang-undang, supaya tidak ada lagi multitafsir,” ungkapnya.
Jurnalis: rendy/abri






