PALU, beritalima.com – Persoalan Radikalisme dan inklusifisme dalam Islam menjadi tema utama yang dibicarakan dalam pertemuan para sarjana Islam dunia dalam forum yang bernama The 18th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2018. Tahun ini sebanyak 1700 sarjana studi Islam dari seluruh dunia membicarakan adanya gap antara text-text Islam dengan praktek di lapangan. Untuk itu tema pertemuan AICIS tahun ini adalah “Islam in a Globalizing World: Text, Knowledge and Practice.
Kampanye kekerasan oleh ISIS dan kelompok-kelompok radikal di berbagai belahan dunia memaksa para ilmuwan dalam ini berkumpul untuk saling mengisi dalam berkontribusi pada bentuk keislaman sesuai ajaran aslinya. Dalam pertemuan yang diprakarsai oleh Kementerian Agama RI ini, sebanyak 300 makalah dan paper akan dibahas dalam diskusi tingkat tinggi yang diikuti oleh para akademisi studi islam dalam berbagai jurusan.
Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin yang membuka acara ini mengungkakan, forum seperti ini penting agar studi Islam tidak teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. “Dalam diskusi akan dibahas sejauh mana para pakar studi Islam merespon dan memberikan solusi atas persoalan sosial keagamaan yang belakangan ini mengganggu kerukunan,” ujarnya, Selasa (18/9/2018), di Hotel Mercure, sekitar pukul 10.00 WITA.
Kasus-kasus intoleransi, penodaan agama, persekusi, hingga kasus radikalisme dan terorisme membutuhkan respon yang tidak bersifat reaktif belaka, tetapi membutuhkan kajian dan penelitian empirik. Menurutnya, akademisi Islam tidak boleh berada di atas menara gading yang terlalu asyik dengan penelitian dan diskusi yang tidak berkontribusi dalam menyelesaikan masalah sosial, politik, kebangsaan baik di Indonesia maupun dunia.
“Era keterbukaan global telah melahirkan tantangan di mana-mana tak terkecuali bagi Indonesia. Bergesernya kecenderungan keagamaan menjadi lebih korservatif dan kepentingan poitik yang menunggangi adalah contoh dinamika masyarakat yang secara riil menciptakan masalah. Terhadap yang demikian itu kita wajib merespon dengan kearifan,” imbuhnya.
Menag pun mengharapkan, konferensi ini melahirkan kontribusi yang diinginkan dari akademisi Islam agar menularnya gagasan populisme. Kabar baik, sejauh ini dunia semakin menyadari bahwa Islam Nusantara memiliki kekhasan tersendiri dalam merespon radikalisme dan konservativisme berbasis agama.
Pada kesempatan itu selain Menteri Agama RI yang hadir, hadir pula Dominik Müller Ph.D dari Max Planck Institute for Social Anthropology, Jerman, yang merupakan pakar antropologi agama yang penelitiannya berbasis di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pembicara asing lainnya adalah Prof. Dr. Hans Christian Gunther dari Albert Ludwig Universitat, Freiburg, Jerman, Dr. Hew Wai Weng dari University Kebangsaan Malaysia, dan Dr. Ken Miichi dari Waseda University, Jepang. dedy mulyadi