Jakarta, beritalimacom | Tidak benar, ada Sukarno muda dan Sukarno tua yang dua versi itu memiliki pandangan kontradiktif. Bantahan itu ditegaskan oleh penulis dan pengamat politik Airlangga Pribadi Kusman.
Airlangga Pribadi Kusman berbicara dalam diskusi tentang pemikiran Bung Karno dan kontekstualisasinya dengan kondisi Indonesia masa kini pada Webinar Perkumpulan Penulis Satu Pena, di Jakarta (1/2).
Dalam diskusi itu, Airlangga menyatakan, sudah sangat banyak tulisan dan penelitian tentang Sukarno. “Tetapi saya tidak puas. Ada pandangan-pandangan mainstream yang tidak pas dalam memposisikan Sukarno,” ujarnya.
Pertama, kata Airlangga, pandangan mainstream yang memandang Sukarno sebagai intelektual kelas dua, di bawah Tan Malaka, di bawah Syahrir, di bawah Hatta. Hanya beberapa yang mengakui Sukarno memiliki kekuatan dalam gagasannya.
“Mereka hanya melihat Sukarno memiliki kemampuan dalam komunikasi dan approach pada publik dengan cara yang memikat,” papar Airlangga.
“Sebagian besar, jika kita melihat buku John D Legge, itu hanya menganggap Sukarno semata-mata memiliki kekuatan manipulasi terhadap masyarakat. Dan dengan itu memperdaya publik sesuai dengan kepentingannya,” lanjutnya.
Bahkan, beberapa kalangan yang respek terhadap Sukarno sekalipun, mereka melihat Sukarno itu dibagi sebagai Sukarno muda dan Sukarno tua, yang antara muda dan tua itu memiliki pandangan yang kontradiktif. Sukarno tua dianggap sudah jadi diktator.
Airlangga secara tegas menolak cara pandang itu. “Dalam buku saya, saya menunjukkan posisi yang berbeda. Justru konsistensi dari Sukarno sejak muda hingga tua itu bisa kita lihat,” ungkap Airlangga.
Artinya, ujar Airlangga, gagasan-gagasan dan tesis-tesis yang Sukarno keluarkan pada saat memimpin pergerakan nasional – seperti Marhaenisme, Pancasila, dan sebagainya – justru coba dia selenggarakan melalui langkah-langkah politik yang bisa dilihat, terutama sejak Sukarno berkuasa pada 1958.
“Kemudian dari sini, kita berhadapan dengan pandangan mainstream bahwa sejak 1958 dan seterusnya Sukarno menjadi seorang diktator,” bahas Airlangga.
Menurut dosen Universitas Airlangga ini, “Kita tidak bisa melakukan judgment Sukarno sebagai seorang diktator tanpa melihat kontekstualisasi situasi saat itu, di mana Indonesia dalam posisi pertarungan di era Perang Dingin,” katanya.
Jadi, ucap Airlangga, pandangan Sukarno tidak bisa dipahami nalarnya atau algoritmanya tanpa kita memahami pandangan yang berbasis pada critical theory, cara pandang yang pijakannya pada ekonomi politik.
Dan itu bisa dilihat dalam tulisan-tulisan Sukarno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Indonesia Menggugat, Mencapai Indonesia Merdeka, Swadeshi dan Massa Aksi, Marhaen dan Proletar, dan sebagainya.
Jurnalis: Abriyanto