ACEH,Beritalima.com-Kondisi realisasi program Anggaran merupakan indikator penting suatu program Pemerintah di Aceh dapat terwujud atau tidak, hal ini dikatakan oleh Koordinator Kaukus Peduli Aceh (KPA) Muhammad Hasbar Kuba, pada media ini Kamis-26-12-2019.
Menurut Hasbar, persoalannya banyak kontrak kritis di akhir tahun 2019, ini harus segera diselesaikan secara bijaksana oleh penyelenggara pemerintahan dalam hal ini kepala Daerah beserta institusi terkait.
“Jika dalilnya karena masa kontrak berakhir maka kontrak harus diputuskan,pemutusan kontrak itu selain akan merugikan rekanan juga merugikan rakyat. Apalagi itu program pemerintah, otomatis rakyat sebagai user sekaligus sasaran suatu proyek pemerintah turut dirugikan dengan pekerjaan setengah jadi.
“Namun demikian, kebijakan institusi pemerintah yang salah menghadirkan program setengah jalan yang ujung-ujungnya hanya merugikan Masyarakat dan Rekanan sebagai pihak ketiga.
Hasbar menyebutkan, banyak pekerjaan saat ini baik di pemerintah Aceh maupun kabupaten/kota yang persentasenya sudah lebih 50% berarti sudah melewati titik kritis pertama, tetapi belum mencapai 100 persen,” Ungkapnya.
“Karena keegoisan pimpinan dan penguasa Aceh masakini atau kuasa pengguna Anggaran di suatu institusi pengelola barang dan jasa pemerintah tersebut, maka dilakukan pemutusan kontrak secara sepihak,Sehingga otomatis rekanan dirugikan secara moril dan materil,Rakyat juga dirugikan karena Pekerjaan tersebut tidak dapat dimanfaatkan.
“Faktor-faktor penyebab realisasi banyak yang belum selesai hingga akhir tahun ini tidak serta merta diakibatkan oleh kesalahan rekanan yang mengerjakan di lapangan,tetapi mau tidak mau sudah diketahui ada beberapa faktor lainnya yang kerap terjadi diantaranya proses pelelangan yang cenderung lamban apalagi dihadapkan dengan proses administrasi di suatu institusi yang berbelit-belit.
“Keterlambatan pekerjaan juga disebabkan oleh perencanaan pekerjaan di suatu institusi yang tidak matang, sehingga hampir semua kontrak itu harus di addendum/cco disebabkan perencanaan dan realita dilapangan jauh berbeda.
“Ada kemungkinan pemaksaan waktu pelaksanaan oleh institusi pemerintahan, Misalnya waktu seharusnya 100 hari karena lambat dilelang dan perencanaan ada yang salah dan tidak sesuai rab lapangan, maka waktu disesuaikan akhir tahun Anggaran diperpendek menjadi 70 hari.
“Tentunya kejadian itu akan merugikan rekanan dan jelas-jelas tidak rasional. Lagi-lagi dalam hal ini rekanan akan dirugikan karena mau tidak mau jika sudah ditunjuk sebagai pelaksana harus mengikuti kontrak yang ditandatangani padahal ini jelas-jelas bakal merugikan secara sepihak,”ujarnya.
Kita mencoba menawarkan solusi kepada Pemerintah Aceh agar kontrak kritis di yang selama ini terjadi tidak terulang lagi dan dapat tertangani tanpa merugikan rekanan dan tidak merugikan Rakyat karena Pekerjaan Proyek setengah jalan.
“Jika merujuk kepada Perpres nomor 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah pasal 56 tentang pemberian kesempatan pasal 1,2 dan 3. Kemudian pada perlem LKPP Nomor 9 Tahun 2018 poin 7.18 juga dijabarkan tentang Pemberian kesempatan kepada Penyedia menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender, sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan. Pemberian kesempatan kepada Penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan dapat melampaui Tahun Anggaran,”
“Secara aturan hukum, tambah Hasbar,”ada ruang agar suatu pekerjaan pemerintah dapat direalisasikan meskipun sudah akhir tahun Anggaran itu tanpa harus merugikan Rekanan, “Misalkan KPA bisa saja memutuskan dilakukannya Bank Garansi yang merupakan salah satu cara yang handal.
Hasbar juga menyarankan agar kepala daerah di Aceh baik itu PLT Gubernur, Bupati maupun Walikota di Aceh mengeluarkan sebuah kebijakan solusi kongkret agar pekerjaan-pekerjaan dapat terselesaikan dan dimanfaatkan oleh publik tanpa harus membuat rekanan menjadi sasaran kerugian.
“Kalau pimpinan Daerah diam saja, maka saya yakin dan percaya kesalahan-kesalahan pemerintah dalam penuntasan suatu pekerjaan di akhir tahun akan menjadi polemik tiap tahunnya dan anggaran pun menjadi Silpa.
Pihaknya juga menyarankan kepada rekanan yang dizalimi oleh institusi pemerintah, apalagi diputus kontrak secara sepihak dan tidak dibayar pekerjaan untuk tidak ragu-ragu menempuh jalur Hukum untuk mencari keadilan.
“Jadi,? Rekanan tidak perlu ragu menempuh jalur hukum jika dizalimi, itu langkah untuk membela diri dan membela agar suatu pekerjaan selesai dan dapat dimanfaatkan oleh orang banyak.
“Rekanan juga tidak perlu takut karena ikatan kontrak, di dalam suatu kontrak pasti ada Syarat-Syarat umum kontrak dan Syarat-syarat khusus yang diwajibkan mengacu kepada Perpres dan Perlem LKPP. Disana secara jelas diterangkan bukan hanya bicara kewajiban Rekanan tetapi juga hak, di dalam aturan itu juga mengatur apa yang menjadi kewajiban institusi pemerintah dalam proses penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa,” Tutupnya.”(A79).