JAKARTA, Beritalima.com– Keberadaan UU No: 6/2014 Tentang Desa bermakna strategis dan eksistensialis dalam memberikan pengakuan serta kejelasan atas status desa.
Lahirnya UU tentang Desa juga memberikan kewenangan berskala desa dan membuka ruang demokratisasi dari tingkat basis kemasyarakatan yaitu masyarakat desa.
Hal tersebut dikatakan Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Akhmad Muqowam pada acara Workshop Pemerintahan Desa di Gedung ICE Bumi Serpong Damai (BSD) Serpong, Tangerang, akhir pekan ini.
Dulu desa, ungkap Muqowam yang juga Ketua Panitia Khusus (Pansus) pembentukan UU tentang Desa, diatur UU Pemda sehingga desa adalah bagian dari hal tentang Pemerintahan Daerah. Dulu posisi desa dinomor duakan, bukan prioritas.
Lebih jauh Wakil Ketua DPD RI ini mengatakan bahwa ruh, idealita dan norma yang ada dalam UU Desa sangatlah memberikan pengakuan yaitu Pengakuan Negara atas desa.
Namun demikian, kata politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setelah UU Desa dilaksanakan, terjadi berbagai kontradiksi dan paradoks. Paling tidak terdapat 3 paradoks. Pertama Kontradiksi Kelembagaan, tidak hanya antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, urusan desa menjadi kewenangan banyak kementerian.
Karena itu, Ketua Komisi V DPR RI 2004-2009 tersebut khawatir, UU Desa yang mengatur desa sebagai sentral pembangunan akan terdistorsi dengan masuknya pembangunan sektoral yang tak terkoordinasi dan akan kembali ke masa Orde Baru.
Kedua, yaitu kontradiksi regulasi, dari berbagai kementerian yang tidak menyatu. “Ketika berbagai lembaga tersebut, khususnya Kemendagri dan Kemendes membuat peraturan menteri sendiri-sendiri, akan mengakibatkan bingung Kepala Desa. Ini menjadi pintu masuk utama publik mendistorsi desa.”
Ketiga, masalah pembinaan yang masih kurang dilakukan Pemerintah, yaitu Kementerian Desa. Kehadiran Polri, Kejaksaan dan Satgas Dana Desa yang terlibat dalam pengawasan hampir pasti menambah kerumitan, ketakutan dan berimplikasi minimalisasi substansi dan fungsi pembinaan.
“Jadi, ada satgas desa. Satgas tersebut melaksanakan fungsi pengawasan terus menerus. Namun, Satgas tersebut kurang dalam melakukan pembinaan ,” ungkap Muqowam.
Hal itu diamini Wakil Ketua Umum Apkasi, Sokhiatulo Laoli. Dia mengatakan bahwa selama ini dana desa sangat bermanfaat dan dipergunakan sesuai perundang-undangan.
Namun, Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa menjadi persoalan. “SDM banyak yanga tidak memahami, bagaimana bisa kita diawasi tapi pembinaannya tidak jelas,” ujar Sokhiatulo.
Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi), Lukman Said mengatakan, harus ada kejelasan mengenai lembaga yang mengurusi desa, apakah Kemendagri atau Kemendes.
Lukman mengatakan tentang pentingnya pembinaan terhadap Kepala Desa. “Seharusnya yang diperkuat sekarang ini adalah pembinaan kepada Kepala Desa. Kemendes jangan merekrut pendamping dari luar, kasih kewenangan orang di daerah untuk mengawasi itu,” demikian Lukman Said. (akhir)