JAKARTA, beritalima.com | DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi.
Terkait hal tersebut, Nagara Institute mengkritisi RUU ini sebagai bentuk pengelolaan manajemen pembuatan UU yang masih kusut.
“RUU ini sekali lagi menunjukkan model kerja DPR dalam hal penyusunan produk perundang-undangan yang tak menunjukkan kriteria yang jelas dan baku,” kata Direktur Eksekutif Nagara Institute, kata Dr Akbar Faizal, M.Si, Kamis (3/9) kemarin.
Menurutnya, tak cukup alasan untuk tergesa gesa membahas pengajuan RUU ini jika dikaitkan dengan problem yang ingin diatasi sebagai alasan utama pengakuan RUU ini. Pasalnya, substansi RUU MK ini tak berkaitan dengan isu strategis yang faktual dan terjadi di masyarakat.
“Kesan ketergesaan pengajuan dan pembahasan RUU ini sebagai sebuah akrobat legislasi. RUU ini tidak termasuk dalam list prioritas pada Prolegnas. Lalu ada apa dibalik semua ini? Publik selanjutnya bertanya-tanya tanpa tahu harus kemana untuk mencari kepastian informasinya. Justru yang muncul adalah tudingan terjadinya ‘tukar guling’ menyangkut beberapa produk UU strategis di masa mendatang. Semisal, gugatan terhadap UU Minerba atau pengamanan Omnibus Law dalam RUU Ciptaker,” ujarnya.
Mempelajari draft RUU ini, kita menemukan bahwa substansi masalah yang ingin direvisi tak jauh berbeda dengan draft RUU sebelumnya yang masih berputar di wilayah administrasi, pengisian jabatan hakim dan periodisasi. Pengajuan menu lama ini menandakan para pembentuk Undang-Undang kehilangan kreativitas dalam menggali masalah yang ada di MK ,khususnya mengenai hukum acara dan kewenangan MK,” tambahnya.
Revisi RUU MK kali ini, urainya, tetap elitis disaat MK terbelit segudang masalah yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu.
“Namun RUU MK ini sekali lagi menghindarkan diri dari penyelesai masalah sekaligus menjauhkan diri dari optimalisasi akses keadilan bagi rakyat di lembaga keramat,” ucapnya.
Menurutnya lagi, revisi terhadap sebuah produk hukum memang keniscayaan namun harus memperhatikan dua hal utama. Yakni materi dan prosedur. Revisi harus didukung dengan materi yang berbobot, membawa perubahan serta kemajuan, dan menyelesaikan masalah di masa lalu dengan sebuah solusi,” ungkapnya.
Revisi, juga harus dilaksanakan dengan prosedur yang benar sesuai peraturan perundang-undangan, memahami skala prioritas dan membuka partisipasi pada semua lini. Apabila revisi ditopang dengan dua hal ini, maka produk hukum dan MK akan mendapat legitimasi kuat.
“Sayangnya RUU MK ini nihil dari dua hal tersebut. Jika RUU ini tetap dipertahankan maka lonceng kematian demokrasi segera berbunyi karena kuasa legislasi patuh dengan instruksi oligarki yang sembunyi dari permukaan publik,” tandasnya.
Melihat perjalanan penyusunan RUU MK yang super kilat dan penuh akrobat, lanjutnya, tak ada alasan untuk menerima RUU ini. Para pembentuk Undang-Undang harus menghentikan proses jalannya RUU MK ini. Jika ingin melakukan revisi, partisipasi masyarakat dan akademisi sangat diperlukan untuk memperbaiki materi muatan UU MK yang dimulai dari membentuk pola rerkutmen hakim yang menghasilkan hakim yang negarawan berintegritas.
“Nagara Institute merekomendasikan pembentukan Hukum Acara MK secara tersendiri dalam UU MK, yang saat ini masih bercampur aduk antara hukum acara dengan keorganisasian MK. Seluruh peraturan pelaksana di MK dapat dikodifikasi dalam satu UU dimana hal ini akan memudahkan masyarakat mengakses dan melaksanakan aturan-aturan dalam hukum acara yang telah terintegrasi,” tegasnya.
Tak hanya itu, Nagara Institute juga merekomendasikan pelibatan MPR menjadi ‘pihak terkait’ dalam persidangan MK meskipun semata bersikap masukan. MPR perlu mengambil peran menjadi pihak terkait untuk menjelaskan maksud, sejarah, dan tafsir kontemporer dari pasal UUD 1945 yang menjadi batu uji dalam judicial review di MK.
“Hal ini perlu karena MPR adalah Institusi yang memiliki otoritas terhadap UUD 1945. Tujuannya agar pengujian UU ‘kaya’ perspektif. Para Hakim akan mendapat tambahan masukan dari MPR tentang tafsir konstitusi yang terotorisasi. Jika ini terlaksana, maka deliberasi pengujian UU akan menghasilkan putusan yang didukung oleh banyak hal.
“Hal terpenting dari semua ini adalah jangan sampai terjadi pembiaran terhadap akrobat legislasi terkhusus lagi jika hal itu akibat kekalahan dari agenda oligarki. MK harus menjadi tempat pertanggungjawaban para pembentuk undang-undang atas produk yang dihasilkannya,” pungkasnya. (Editor: Dibyo).