Aksi Coret-Coret Baju Seragam, Fenomena Apa?

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Beberapa waktu lalu Plh Walikota Jayapura, Frans Pekey menyampaikan himbauan kepada para siswa-siswi yang baru menerima pengumuman kelulusan ini supaya tidak merayakan kesenangannya terlalu berlebihan terutama dengan mencoret-coret pakaian seragam sekolah atau kegiatan yang dapat menganggu ketenangan masyarakat umum. “Ada rasa sukacita ada rasa senang dan ungkapan itu seringkali juga dengan aksi coret-coret pakaian bahkan juga bisa mengganggu ketenangan kenyamanan orang lain misalnya bawa kendaraan motor dengan ugal-ugalan ada juga miras dan lain sebagainya. Karena itu saya minta kepada semua siswa yang mendengar kelulusan jangan euforia yang berlebihan,” ujar Doktor Sekda Kota Jayapura yang dilantik sebagai Pejabat Walikota 27 Mei 2022 lalu itu. (Ceposonline.com (05/05/2023).
Sengaja himbauan, yang, tersebut penulis kutip ulang karena sangat penting. Sepanjang pengamatan penulis tidak banyak pejabat negeri di negeri ini yang mempunyai kepedulian demikian. Meskipun demikian, secara diam-diam sebenarnya banyak yang prihatin mengenai aksi anak-anak kita tersebut. Pernyataan Pak Wali, seolah menjadi katalisator masyarakat selama ini, termasuk tentunya para orang tua dan para guru.

Sebagaimana kita sering kita saksikan, pengumuman kelulusan sering menyisakan kenangan. Sebagai puncak jerih payah selama lebih kurang 3 tahun bersekolah, mengekspresikan kegembiraan tentu sesuatu yang alami. Ekspresi pascakelulusan demikian tentu dapat melengkapi kenangan di masa remaja yang tidak pernah kembali. Salah satu kenangan yang paling mencolok—dan selalu menjadi tradisi setiap pengumuman kelulusan para siswa SLTP dan SLTA—yaitu aksi coret coret baju seragam. Di beberapa tempat aksi demikian biasanya juga dilanjutkan dengan konvoi di jalanan. Berkendara motor tanpa helem ramai-ramai laki-laki perempuan dengan seragam yang sudah berubah warna karena penuh goresan cat semprot, menjadi pemandangan pada hari pengumuman kelulusan. Euforia mereka di jalanan secara bebas dengan mengabaikan tertib berlalu lintas, seolah telah membuat “Pak Polisi” sudah kuwalahan. Atau, jangan-jangan si sebagian mereka juga banyak anak pejabat hingga membuat para polisi lalu lintas sungkan dan angkat tangan.
Fenomena demikian tentu patut membuat kita bertanya mengapa tradisi ini selalu terulang dan nyaris tidak bisa dicegah? Atau biarkan saja tradisi demikian sebagai bagian dari kekayaan budaya dari dunia pendidikan kita?
Efek Negatif

Mengekpresikan kegembiraan tentu hak setiap orang, termasuk anak didik kita. Akan tetapi kalau sampai mengganggu apalgi melanggar hukum tentu akan menjadi lain. Seperti kita ikuti di berbagai daerah euforia kelulusan sering menimbulkan hal-hal negatif. Di Rembang, Jawa Tengah akibat merayakan kelulusan sekolah terjadi insiden pengeroyokan. Polisi mengatakan, aksi pengeroyokan terjadi karena adanya kesalahpahaman antara pelajar yang sedang konvoi kelulusan dan warga yang hendak menyeberang jalan.(Kompas.com, 11/05/2023). Seorang Siswa SMA di Sukoharjo, Jawa Tengah harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan karena alami kecelakaan lalu lintas. Siswa bernama Haycal Ahmad Zain (18) tersebut mengalami kecelakaan saat sedang melakukan konvoi kelulusan. Ia menabrak mobil berjenis pick up saat melintasi Desa Ngombakan, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Karanganyar. Akibat dari kecelakaan tersebut, rahang sebelah kanan korban patah. (Tribunnews.com, 06/05/2023). Di Bali 2 Siswa di Bali harus mengalami kecelakaan patah tulang saat ikut konvoi kelulusan SMA ( Liputan6.com, 04/05/2018). Tentu masih banyak peristiwa tragis akibat konvoi kelulusan tersebut, seperti tawuran antar sekolah. Akan tetapi 3 contoh tersebut cukup membuat kita semua prihatin sekaligus mengharuskan para pejabat dan seluruh komponen masyarakat mengambil langkah-langkah nyata untuk menghentikan ‘kreativitas’ para anak didik kita tersebut.

Upaya menhentikan aksi tahunan tersebut selama ini memang telah diupayakan. Di sekolah tertentu yang relatif maju memang telah membuat cara pengumuman kelulusan via aplikasi tetentu. Melalui aplikasi yang berbasis internet ini, siswa hanya melihat kelulusan dari rumah. Dari aplikasi tersebut dapat diperoleh informasi: nilai dan keterangan lulus siswa, akses pengumuman kelulusan secara privat ( per siswa satu akun ), fitur cetak langsung surat kelulusan dari aplikasi sehingga memudahkan siswa yang membutuhkan dokumen yang akan segera digunakan untuk mendaftarkan diri pada jenjang pendidikan berikutnya, dapat diakses langsung dari perangkat mobile siswa maupun orang tua / walinya.
Kedatangan siswa ke sekolah di hari yang sama dan berkumpul pada hari yang sama pun terhindarkan.
Di beberapa tempat lain Polisi berusaha mengantisipasinya dengan mendatagi sekolahan dengan memberikan penyuluhan. Akan tetapi jumlah polisi yang ada tentu tidak sebanding dibanding jumlah sekolah yang ada. Di sisi lain pesta jalanan ini, saat ini sudah sangat massif. Kalau kita sepakat bahwa hel tersebut perlu dikahiri, maka pencegahannya tidak boleh hanya dilakukan oleh pejabat instansi tertentu atau bahkan hanya dibuat kebijakan secara parsial. Kepedulian semua pihak di daerah, dalam hal ini seluruh aparat keamanan (TNI/POLRI), pejabat yang ada di daerah, sekolah, tokoh agama/masyarakat, dan para orang tua harus menjadi concern bersama untuk bersatu memerangi kebiasaan buruk–yang menurut catatan, mulai marak sejak diberlakukan sistem ebtanas tahun 90-an–ini. Kesatuan pandangan ini oleh para pemangku kepentingan, jika euphoria ini harus tetap ada, perlu dibuat kegiatan alternatif yang lebih kreatif dan inovatif, dan yang lebih penting sesuai dengan selera milenial.

Upaya tersebut perlu ditempuh dengan sungguh mengingat kelulusan bukan segala-galanya. Dan, yang pasti banyaknya tragedi memilukan tersebut, di satu sisi, telah cukup membuat pilu semua pihak, termasuk para orang tua, dan tentunya menjadi penyesalan bagi para siswa sendiri. Pada saat yang sama kita juga malu, jika fenomena di atas terjadi justru adanya sejumlah keprihatinan mengenai kualitas sistem pendidikan kita. Menurut catatatan, di Asia Tenggara kini Indonesia hanya menempati urutan keempat setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand (Primagama.co.id, 04/07/2022). Sebagaimana ditulis Liputan6.com (27/08/2022) di tingkat dunia, Indonesia sendiri hanya menempati peringkat 54 pada tahun 2021. Meskipun telah naik satu peringkat sebelumnya yaitu peringkat 55 pada tahun 2020 namun peringkat tersebut tetap masih di bawah 3 negara Asia Tenggara Singapura yang menempati peringkat ke-21, Malaysia ke-37, dan Thailand ke-45. Malu bukan?

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait