Catatan: HM Yousri Nur Raja Agam
59 TAHUN yang lalu, tanggal 10 Januari 1966, tercatat hari bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Hari itu diperingati sebagai Hari Tritura Angkatan 66. Inilah hari pergerakan sporadis kaum muda Indonesia “melawan” Pemerintahan Republik Indonesia yang sah pada saat itu.
Tritura adalah singkatan dari Tiga Tuntutan Rakyat. Perlawanan kaum muda waktu itu terkoordinasi dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), serta didukung oleh barisan Kesatuan Aksi lainnya. Ada KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia) dan KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia). Semua Kesatuan Aksi ini, berhimpun dalam suatu kordinasi dikenal sebagai Angkatan 66.
Kala ini, situasi Bangsa Indonesia sedang dalam keadaan “bergolak”. Sebagai rangkaian peristiwa berdarah tiga bulan sebelumnya. Yaitu, tragedi nasional, yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September (G30S). Suatu gerakan makar yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga peristiwa ini disebut G30S/PKI.
Kendati kita sudah berada di alam kemerdekaan, ternyata Pemerintahan yang berkuasa, tidak mampu mengendalikan kegiatan politik sepenuhnya. Waktu itu, pemerintahan yang dipimpin Presiden Sukarno, berhasil disusupi aliran politik yang dianggap menyimpang. Yaitu: “Komunisme”.
Sejak masa perjuangan kemerdekaan, sampai di tahun 1966 itu, memang sudah ada paham komunis yang terkordinasi di tanah air kita. Paham ini disebarkan oleh PKI. Waktu itu paham komunis di Indonesia boleh dikatakan “berinduk” ke China dan Uni Sovyet — Rusia.
Tragedi nasional G30S/PKI, yang berlangsung tanggal 30 September 1965 itu, adalah pembunuhan yang sungguh “kejam”. Terungkap bahwa para pelaku pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah, didalangi oleh PKI. Termasuk seorang bocah perempuan bernama Ade Irma Suryani Nasution, puteri dari Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.
Peristiwa ini memicu semangat juang para pemuda, pelajar dan mahasiswa di Ibukota Jakarta. Bahkan secara sporadis, juga berkembang sampai ke seluruh pelosok tanah air.
Tidak hanya itu yang membuat “kemarahan” anak muda yang tergabung dalam Angkatan 66.
Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia ketika itu juga dalam keadaan parah.
Harga bahan pokok yang dikenal dengan sembako, mahal. Ongkos dan biaya hidup lainnya benar-benar berat. Saat itu harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan tarif kendaraan umum juga dirasakan mahal. Sampai-sampai perjalanan untuk ke sekolah, kerja dan ke pasar juga memberatkan.
Pemerintahan Presiden Soekarno dengan Kabinet Dwikora waktu itu dianggap tidak wajar. Jumlah kementerian dengan para menteri bersama wakil menteri jumlahnya terlalu banyak. Sehingga pemerintahan waktu itu dinilai terlalu gemuk, sehingga dijuluki: “Kabinet 100 Menteri”.
Situasi tidak menentu itu membuat Para mahasiswa dan pelajar bergerak. Melakukan aksi dengan turun ke jalan dan menyampaikan pernyataan ke kantor pejabat pemerintahan.
Pada tanggal 10 Januari 1966, para mahasiswa dan pemuda pelajar berkumpul di kampus UI (Universitas Indonesia) Jalan Salemba 4 Jakarta. Di dalam aula berlangsung seminar “Ekonomi dan Moneter”. Di halaman kampus para mahasiswa dengan 17 organisasi kemahasiswaan yang bergabung dalam KAMI menyelenggarakan Rapat Umum.
Rapat umum itubdipimpin Cosmas Batubara. Secara tegas mengutuk G30S/PKI. Acara ini dihadiri Kolonel Sarwo Edhi, Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) — yang sekarang bernama Kopasus (Komando Pasukan Khusus). Sarwo Edhi didampingi stafnya: Mayor CI Santoso dan Gunawan Wibisono.
Para mahasiswa yang tergabung di KAMI merasa ada kebersamaan dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) — sebutan untuk TNI-Polri waktu itu. Sikapnya sama-sama punya keinginan untuk mengganyang G30S/PKI. Sikap para mahasiswa ini juga didukung oleh pemuda, serta pelajar SMP dan SMA yang kemudian bergabung dalam KAPPI.
Setelah rapat umum, para mahasiswa dan pemuda, serta pelajar itu, berjalan jaki membentuk arak-arakan menuju ke kantor Departemen Dalam Negeri (Depdagri) — sebutan Kemendagri waktu itu. Sambil menunggu wakil pemerintah, peserta aksi duduk-duduk di halaman gedung, sampai memacetkan kendaraan di jalan raya.
Saat itu delegasi mahasiswa dan pemuda pelajar, menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah melalui Wakil Perdana Menteri (Waperdam) III Chairul Saleh.
Melalui Chairul Saleh, delegasi yang mengatasnamakan rakyat itu, menyampaikan “tiga tuntutan rakyat” — disingkat Tritura,
“Pertama: Bubarkan PKI,
“Kedua : Rombak Kabinet Dwikora”,
“Ketiga : Turunkan harga.”
Naskah tuntutan itu disampaikan kepada Chairul Saleh. Kemudian Chairul Saleh menyatakan segera menyerahkan “Tiga Kebulatan Tekad” itu kepada Presiden. Para peserta aksi kembali ke Kampus Salemba dengan tertib. Masyarakat bersimpati. Setelah aksi 10 Januari 1966 itu, demonstrasi berlanjut hampir tiap hari. Aktivitas di ibukota ini juga berlangsung di kota-kota seluruh Indonesia.
Hari penyampaian tiga sikap Kesatuan Aksi, tanggal 10 Januari 1966 itu, kini setiap tahun diperingati sebagai Hari Tritura. (*)
*) HM Yousri Nur Raja Agam, adalah Ketua DPP FKB KAPPI Angkatan 66.