JAKARTA, beritalima.com – Sejarah Indonesia mulai dari Sumpah Palapa yang digelorakan Mahapatih Gadja Mada di Pendopo Bale Mangundur di jaman kerajaan – kerajaan, hingga Sumpah Pemuda kaum progresif di Batravia era kolonial penjajahan. Pilar kebhinekaan Indonesia kian kuat dan kokoh ketika semua para pendiri bangsa sepakat dan tekatr mewujudkan Indonesia. Semua untuk satu, satu untuk semua.
“Semua warga Nusantara siap sedia meleburkan identitas primordial dalam bentruk apapun, baik suku, agama, maupun ras ke dalam satu kesatuan Indonesia,” tandas Supriadi Djae (Sudja), Minggu, (13/11/2016) di Gedung Juang, Jakarta saat Deklarasi Relawan Matahari Jakarta (RMJ).
Masih dikatakan Sudja, ujian ini datang ketika Indonesia harus menghadapi perang proxy dengan negara lain, dan mengalir deras dengan munculnya elemen-elemen di dalam negeri yang buta sejarah. Tiba-triba muncul kehendak untuk saling menegaskan identitras satu sama lain, bukan hanya melalui jalur-jalur dan saluran-saluran yang dijamin konstitusi, namun juga dengan cara menebar ancaman dan potensi kekerasan, yang minimal berupa kekerasan verbal.
“Kami putera – puteri aktivis Muhammadiyah yang ada di Jakarta merasa memiliki tanggung jawab sejarah untuk ikut meluruskan kembali arah perjalanan bangsa. Gagasan ini kami kristalisasikan dan ekspresikan melalui gerakan politik dengan mendukung pasangan Basuki Tjahaya Purnama – Djarot Saiful Hidayat,” terang Sudja Ketua RMJ.
Namun pada paparannya, ia mengungkapkan bahwa dirinya menolak dan menghindari politisasi agama karena merusak kebhinekaan. Oleh karena itu, ia memastikan, pilkada harus fokus pada rekam jejak kandidat serta program kerja yag ditawarkan. Seperti banyak program dan kinerja Ahok – Djarort seperti renovasi masjid dan musholah, program mengumrohkan pengurus masjid di seluruh DKI yang tidak pernah dilakukan gubernur – gubernur sebelumnya. Termasuk penggusuran lokalisasi kalijodo.
“Terkait kasus dugaan penistaan agama, kami sepakat agar masalah ini diselesaikan melalui koridor hukum yang berlakum kami juga mendukung agar proses gelar perkara dilakukan secara terbuka, hingga publik dapat melihat prosesnya secara treansparan dan adil tanpa intervensi pemerintah dan tekanan massa,” imbuhnya. dedy mulyadi