SURABAYA, Beritalima.com |
NGO veteran Indonesia yakni LP3ES kembali mengadakan Seri Diskusi Negara Hukum pada Senin sore (12/7/2021), untuk membahas tema represifitas media di Indonesia selama pandemi COVID-19 merebak.
Beberapa tokoh hukum dan jurnalis tersohor hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini. Beberapa nama adalah Direktur YLBHI Asfinawati, Inisiator Lapor COVID-19 Ahmad Arif, dan Pendiri Project Multatuli Evi Mariani.
Pakar HAM UNAIR Dr. Herlambang P. Wiratraman juga hadir dalam diskusi tersebut sebagai moderator, serta memberikan pembukaan guna memantik jalannya diskusi.
Ia mengatakan bahwa represifitas media, entah dalam konteks jurnalistik ataupun media sosial, merupakan suatu gejala dari kondisi penyempitan ruang sipil (shrinking civil space).
“Mengkaji penyempitan ruang sipil ini kita patut melihat bagaimana pola kekuasaan pemerintah bergulir selama masa pandemi ini. Disini saya dapat melihatnya dari tiga titik,” kata dosen Hukum Tata Negara itu.
Titik pertama menurut Herlambang adalah ketidaksiapan yang kerap kali berbuah kegagalan pemerintah dalam merespon pandemi, dan menyelamatkan warganya. Entah itu dilihat dari segi narasi pemerintah yang terkesan meremehkan pada awalnya, atau dari segi dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang tidak dilandasi sains.
Dalam konteks politik oligarki, titik kedua penyempitan ini adalah tendensi pemerintah pada fenomena legalisme autokratik.
Herlambang menjelaskan bahwa fenomena ini berkisar pada keluarnya kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang melegalkan represifitas, dominansi oligarki, serta tindakan koruptif.
Ia menambahkan bahwa pandemi yang merupakan keadaan darurat seakan-akan menjadi aji mumpung untuk melicinkan keluarnya produk hukum tersebut.
“Kita bisa melihat contoh terbesarnya seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU Minerba yang dikebut pada awal pandemi merebak. Contoh terbaru juga adalah vaksin jadi berbayar, padahal sebelumnya Presiden Jokowi jelas mengatakan bahwa vaksin bakal gratis,” ujar alumni Leiden University itu.
Titik ketiga adalah catatan kemunduran demokrasi pada masa pemerintahan Jokowi itu sendiri, terutama pada periode keduanya.
Menurut argumen Herlambang, kemunduran tersebut salah satunya dipicu oleh pengkerdilan kebebasan sipil, yang tidak hanya hadir dalam bentuk denial tetapi juga pembungkaman. Cara-cara seperti cyber attack dan doxing pada pakar dan jurnalis, seperti peretasan akun Twitter Epidemiolog UI Pandu Riono serta penghapusan berita Tirto.id terkait riset vaksin yang dilakukan oleh BIN dengan suatu perguruan tinggi ternama, adalah beberapa contoh yang ia paparkan.
“Oleh karena itu, terdapat kompleksitas problema dalam tantangan yang kita hadapi. Pertama, adalah tidak didayagunakannya narasi komunikasi krisis yang baik oleh pemerintah. Kedua, mengutip konsep dalam buku Cass Sunstein yaitu Liars: Falsehoods and Free Speech in an Age of Deception, adalah bahaya terkait infodemik.
Ketiga, adalah impunitas dan diskriminasi dalam penegakan hukum kejahatan siber serta represifitas media,” tutup Herlambang. (Yul)