(Almaghfurlah) Guru Sekumpul dan Nasihatnya

  • Whatsapp

(Sekelumit Refleksi tentang Haul Ke-20 Guru Sekumpul)

Oleh: H.Asmu’I Syarkowi
(Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin)

Bagi yang belum pernah tahu, tentu sulit percaya, jika di semua jalan di berbagai sudut kota Banjarbaru, lebih-lebih kota Martapura itu akan berubah menjadi lautan manusia. Apalagi yang hadir tidak hanya orang-orang Kalimantan Selatan atau Kalimantan pada umumnya tetapi juga dari berbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi yang sudah sering mengalami, apalagi penduduk setempat, tentu bukan hal yang aneh. Untuk keperluan itu, pada hari-hari menjelang acara itu penduduk setempat rupanya jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri menyambut acara haul “Guru Sekumpul” yang jatuh pada tanggal 5 bulan Rajab setiap tahun. Dan, kali ini acara tahunan itu (kebetulan) jatuh pada hari Ahad tanggal 5 Januari 2025.

Rumah-rumah sekitar sudah mereka persiapkan untuk para tamu sekaligus jamuannya. Mereka juga biasa menyaksikan halaman-halaman rumah, hari itu akan benar-benar bebas dari asap bahan bakar kendaraan. Semua kendaraan pada hari itu tidak mungkin akan bisa melewati jalan depan rumah-rumah mereka. Selanjutnya jalan-jalan itu akan berubah menjadi lautan manusia yang rela duduk teratur di atas alas sajadah dengan maksud yang sama. Bukan untuk unjuk rasa atau antri sembako, melainkan dengan khusuk dan tertib membaca kalimat-kalimat doa untuk seorang tokoh kharismatik sang panutan.
Siapakah Guru Sekumpul itu? Tidak lain salah seorang ulama yang bernama lengkap Kyai Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani Al-Banjari. Oleh kalangan ulama beliau juga diberi gelar sebagai Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani atau Syaikhuna al-Alim al-Allamah al-Arif billaah al-Bahr al-Ulum al-Waliy al-Qutb As-Syaikh al-Mukarram Maulana Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari. Kini tokoh yang saat kecil bernama Qusyairi ini, lebih sering disebut dengan panggilan populer “Guru Sekumpul”.

Betapa sentralnya tokoh kita yang satu ini, sampai-sampai hampir tidak satu rumah pun penduduk Kalimantan yang muslim yang tidak memasang foto ulama kharismatik ini, baik ukuran kecil maupun besar. Tokoh yang pernah berguru kepada Syaikh Yasin bin Isa Padang di Makkah ini, lahir malam Rabu 11 Februari 1942 (27 Muharam 1361 Hijriah) di desa Keraton, Kecamatan Martapura dan wafat pada hari Rabu pagi tanggal 10 Agustus 2005 M ( 5 Rajab 1426 H). Pengakuan masyarakat akan ketokohannya sampai saat ini, tentu berkat kiprahnya saat masih hidup. Ragam segmen masyarakat yang hadir dan atau berpartisipasi pada setiap acara haul juga menunjukkan bahwa ketokohan ulama, yang juga dipanggil Guru Ijai, ini nyaris menjebol sekat-sekat primordial. Meminjam istilah Gus Mus, beliau adalah termasuk tipologi ulama yang “alladzina yandhuruna ilal ummah bi’ainir rahmah” (melihat ummat dengan pendangan kasih sayang). Akibatnya, di samping mendapat kemuliaan dari Allah, beliau juga akan terus disayang dan dihormati oleh siapa pun.
Bagi yang pernah mengenal dekat beliau, khususnya orang Banjar cerita berikut tentu sudah tidak asing. Penulis Kitab Al-Imdad fii Auradi Ahlil Widad ini, konon memiliki berbagai karamah. Karamah dalam tradisi ilmu tasawuf, sering didefinisikan sebagai keajaiban yang dimiliki oleh para wali berkat kedekatannya dengan Allah. Konon tanda-tanda kandidat kewaliannya sudah terlihat saat umur kurang lebih 10 tahun. Pada usia belia itu, beliau sudah mendapat khususiah dan anugerah dari Tuhan berupa “kasyaf hissi” yaitu dapat melihat dan mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dalam usia muda itu Guru Sekumpul juga pernah didatangi oleh seseorang perampok yang sangat ditakuti masyarakat Banjar karena kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentu sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi? Ketika perampok tersebut melihat Guru Sekumpul, langsung sungkem dan minta ampun, dia justru kemudian memohon bimbingan dan diperiksa ilmunya yang selama ini dia amalkan. Jika ilmunya salah atau sesat, dia minta diluruskan dan dibimbing untuk bertobat.

Terlepas dari pro kontra mengenai kebenaran cerita tersebut dan berbagai cerita mistik lainnya yang sering dihubungkan dengan turunan ke-8 Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari ini, oleh sebagian masyarakat beliau termasuk dikenal masyarakat yang lemah lembut dan santun dengan siapa pun. Dalam pendangan ulama, yang hafal Al Qur’an sejak 7 tahun dan berhasil menghafal kitab Tafsir Jalalain karya ulama Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli di usia 9 tahun, ini semua manusia pada hakitnya adalah sama yang berpotensi membawa kebenaran. Untuk itu beliau, antara lain, mengajarkan sikap tawadhu (merendahkan diri). Dan, implementasi dari sikap ini salah satunya adalah kesediaan menerima kebenaran, meskipun hanya mendengar dari mulut anak kecil. Bahkan, implementasi dari sikap tawadhu ini juga tercermin pada kalimat beliau, bahwa “menutup aurat adalah wajib, akan tetapi menutupi kemuliaan diri lebih wajib hukumnya”.

Saat beliau masih hidup, khususnya masyarakat sekitar tentu dapat hadir mendengarkan nasihat-nasihat agama beliau lewat pengajian Sang Guru yang digelar setiap minggu di mushallanya. Nasihat-nasihat bijak yang menyejukkan dapat mereka dengarkan secara langsung. Nada intonasi yang santai dan jauh dari berapi-api (agitasi), sangat mewakili kelembutan dan kesantunan perilaku ulama yang lahir dari pasangan Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman, dan Hj. Masliah binti H. Mulia bin Muhyiddin ini. Bagi orang yang tidak dapat mendengar secara langsung, melalui media sosial, seperti youtube, masyarakat dapat membuktikan kebenaran ‘stigma’ tersebut.
Mushalla Ar-Raudhah, yang mempunyai gaya arsitektur gedung yang cantik tempat beliau berkhidmat selama ini, tentu menjadi salah satu peninggalan beliau sekaligus saksi bisu yang penting. Tetapi lebih dari itu, yang jauh lebih penting kita tentu perlu selalu mengingat nasihat-nasihat beliau pada setiap pengajian.

Akhirnya, di tengah ‘kemeriaahan’ hal ke-20 ini, ada baiknya juga mengingat satu pesan penting sang guru, yaitu pandangannya tentang fenomena “karamah” dan “istikamah”. Beliau ‘berpesan’ agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimana pun, karamah adalah anugerah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau kemahiran. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah “istikamah” di jalan Allah. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah, tetapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tetapi “bakarmi” (orang yang keluar cacing kecil dari duburnya). Timbulnya keramat dan sampainya seseorang kepada derajat wali karena istiqomah mengamalkan sunnah Rasulullah SAW.
Dalam konteks kekinian istikamah di jalan Allah tentu dapat diartikan sebagai konsisten dalam sikap dan kiprah positif apa pun. Dan, tidak sekedar “instant”. Di tengah pragmatisme yang sudah mewarnai setiap lini kehidupan ajaran demikian tampaknya perlu terus didengungkan.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait