Alumni IAIN dan Peluangnya

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Sebuah perguruan tinggi berbasis agama (Islam) berdiri tegak di ujung Timur Indonesia. Kawasan yang terletak di ketinggian salah satu sudut bumi cenderawasih ini, memang menawarkan panorama nan elok. Berselfi ria dengan sejumlah view keindahan alam setempat akan menjadi salah satu momen yang tidak bisa dilewatkan oleh siapa pun yang hadir di tempat ini. Keelokan lokasi ini seolah melengkapi sebutan Papua sebagai sepotong surga yang datang dari langit. Bermula dari ide dan gagasan para pionir tertentu, akhirnya –perguruan tinggi yang dulu bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al-Fatah Jayapura–pada tanggal 7 April 2018 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2018 memang menjelma menjadi IAIN Fattahul Muluk, sebuah perguruan tinggi kebanggan ummat Islam Papua dan menjadi salah satu dari dari dua perguruan tinggi negeri di Papua. Kabar terakhir IAIN ini kinisedang berbenah diri menyusul menjadi UIN (Universitas Islam Negeri).

Pertanyaan klasik yang sering terlontar ketika melihat mahasiswa IAIN adalah: Setamat kuliah IAIN mau jadi apa? Pertanyaan ini sekilas terdengar biasa-biasa, tetapi sebenarnya mengandung makna yang dalam. Bahkan, dalam skala tertentu sekaligus juga tidak jarang diplesetkan sebagai pertanyaan yang bernuansa pelecehan. Terutama, jika dilihat dari kurikulum fakultas-fakultas yang ada dibnding dengan pasar kerja yang ada. Dengan kurikulum yang ada, yang pada ummnya, keilmuan agama murni yang bernuansa eksklusif, para alumninya sering distigmakan hanya pantas duduk di atas mimbar-mimbar majelis taklim atau khatib Jumat. Memang, ada fakultas tertentu yang menyiapkan alumni untuk mengisi lembaga tertentu, seperti Fakultas Tarbiyah (Kependidikan) untuk menjadi tenaga kependidikan atau Syariah untuk mengisi kantor tertentu atau sektor hukum (Hakim Agama, pengacara, mediator, dan profesi hukum lainnya). Tetapi, tidak pada fakultas lainnya.
Problem lulusan suatu perguruan tinggi atau lulusan lembaga pendidikan apa pun jika dikaitkan dengan pasar kerja,tentu tidak hanya dialami para lulusan IAIN. Problem serupa juga dialami oleh hampir semua lulusan lembaga pendidikan tinggi mana pun, termasuk alumnus perguruan tinggi ternama sekalipun. Penyebab utamanya adalah karena pasar kerja yang ada selalu tidak berbanding sama dengan para lulusan. Pasar kerja sering berhubungan dengan variabel yang berbeda dengan kelulusan mahasiswa. Oleh karena itu keduanya, jelas tidak bisa berjalan secara ekiuvalen. Sebuah peristiwa kelulusan mahasiswa pada lembaga pendidikan tinggi nyaris tidak bisa dicegah. Pada waktu tertentu, suatu lembaga pendidikan harus melahirkan alumni. Alasanya sangat rasional, masa belajar (kuliah) yang harus dibatasi. Bagi yang telah memenuhi syarat dan telah menempuh ujian tahap akhir, harus keluar sebagai alumni. Pada saat yang sama pasar kerja tidak alami. Selain harus diciptakan, suatu lapangan pekerjaan sangat terkait dengan kondisi politik, keamanan, dan kemakmuran suatu negara. Dengan semakin menjamurnya PT di tanah air, kini lapangan pekerjaan (baik PNS atau swasta) seolah hanya berupa beberapa gelas air yang harus diperebutkan oleh jutaan manusia-manusia yang kehausan di tengah gurun.

Akan tetapi, akankah fenomena di atas harus menjadikan para alumni IAIN berkecil hati atau pesimis? Tentunya tidak. Sebab, kuliah merupakan salah satu cara menuntut ilmu. Dan, menuntut Ilmu (terutama ilmu agama) hukumnya wajib bagi setiap muslim. Oleh karena itu, bagi umat Islam aktivitas menuntut ilmu tidak pernah ada ruginya. Sebab, di samping mendapat pengetahuan, kuliah pada hakikatnya merupakan salah satu cara menjalankan sebagian kewajiban agama. Bagi kaum muslimin memperoleh kedudukan tertentu setelah mencari ilmu itu memang penting tetapi tidak terlalu amat penting. Sebab, ketika kewajiban mencari ilmu sudah dilaksanakan, sejauh yakin (beriman) pasti Allah akan mengangkat derajatnya. Garansi demikian, telah dengan lugas dinyatakan Allah dalam Al Quran surat al Mujadalah ayat 11.

Hanya saja, zaman yang serba materialistis ini memang sering mengkontaminasi cara berfikir para mahasiswa, termasuk mahasiswa IAIN. Semua orang memang butuh pekerjaan, tetapi pekerjaan sering hanya dimaknai sebagai pekerjaan yang berkaitan dengan sektor jasa atau bidang tertentu. Apalagi, ada yang malah mereduksi pekerjaan hanya sama dengan pegawai negeri ( PNS atau TNI/Polri). Padahal, mestinya tidak demikian. Sebagai alumni IAIN dengan basis pengetahuan keagamaan yang ada sebenarnya justru mempunyai spektrum wahana pengabdian yang lebih luas. Di negeri ini banyak sejumlah nama berstatus tokoh nasional merupakan para alumni IAIN. Kalau pun tidak bisa menjadi tokoh apa pun–apalagi PNS karena terbatasnya kuota, yang pasti dengan basis pengetahuan yang dimiliki, tanpa menyudutkan PT umum–para alumni IAIN biasanya relatif lebih mudah membaur kembali ke masyarakat komunitas asalnya ketimbang alumni PT Umum. Tidak jarang peran-peran sosial di masyarakat yang digeluti dengan intens, juga sering menjadi sumber rezeki yang tidak terduga bagi para alumni IAIN. Bahkan, dalam konteks interaksi lintas agama, para alumni IAIN sering lebih terlihat supel bergaul dengan ummat beragama non muslim. Hal ini wajar sebab kurikulum materi kuliah agama yang diajarkan IAIN selalu mengusung materi “Islam ramah lingkungan” (rahmatan lil alamin). Dengan basis pengetahuan keagamaan demikian, para alumni IAIN telah terbiasa dengan “cara berfikir kebhinekaan”. Dengan demikian, para alumni IAIN biasanya selalu merasa sejuk meskipun dalam ruangan yang oleh sebagian komunitas muslim tertentu dianggap pengap sekalipun.

Di atas motivasi apa pun pada akhirnya, juga tanpa melarang bercita-cita menjadi apa pun, bagi setiap mahasiswa IAIN, persoalan yang sebenarnya adalah bagaimana memperoleh ilmu yang bermanfaat. Kemanfaatan ilmu, harus menjadi motivasi transendental perdana bagi setiap mahasiswa IAIN. Setiap dosen IAIN tentu tahu betul paradigma berfikir demikian dan oleh karena itu pastinya juga telah menanamkannya pada setiap mahasiswa pada setiap mata kuliah yang diampunya. Cara berfikir demikian telah menjadi tradisi belajar yang diajarkan oleh para cerdik pandai (ulama) dan telah menjadi konsep metoda belajar agama yang telah melembaga sekaligus terpelihara dari dulu. Pertanyaannya, masihkah para alumni IAIN memahami sekaligus meyakininya? Wallahu a’lam.

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait