(Sekelumit Ulasan tentang Pidato Pembina Apel Hari Kelahiran Pancasila)
Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Apel memperingati hari lahir Pancasila (1 Juni) yang diselenggarakan di halaman Kantor Pengadilan Tinggi Agama Jayapura ini memang berjalan sebagaimana biasanya. Seluruh pejabat dan seluruh pegawai baik (ASN maupun tenaga honor) tidak satu pun ada yang absen. Bahkan, ada beberapa wajah asing terlihat ikut serta. Wajah asing itu tidak lain ASN dari satker lain yang sengaja ‘numbrung’ mengikuti apel. Mekanisme memang memungkinkan demikian. ASN yang kebetulan jauh dari kantor tempat ia bekerja, karena hari libur, dibolehkan mengikuti apel ke satker terdekat. Yang penting mengikuti apel. Begitu aturan yang ada selama ini.
Mungkin tidak banyak yang mencermati, apel kali ini terasa lain dari biasanya. Setidaknya, ada dua hal yang menyebabkan apel tahunan ini berbeda dari biasanya. Pertama, sambutan pembina upacara kali ini hanya disampaikan secara lisan. Acara seformal ini biasanya amanat disamaikan secara tertulis. Pembina upacara biasanya membaca teks baku dari pejabat pusat tertentu yang biasanya terdiri hampir puluhan halaman. Akibatnya, suasana apel yang biasanya terik matahari itu para peserta apel sering dibuat seperti cacing kepanasan karena terpaksa harus mendengarkan sambutan sampai selesainya bait terakhir. Kedua, apel kali terasa lain karena isi sambutan yang padat dan, yang lebih penting relatif, dapat mengelaborasi substansi peringtatan: yaitu, pentingnya Pancasila bagi NKRI.
Hal kedua itulah, agaknya yang penting untuk mendapat porsi perhatian lebih. Sebagaimana biasa, terik matahari pagi itu, memang menyengat. Balutan pakaian jas dalam uniform pakaian sipil lengkap (PSL) tentu menambah kadar air dalam tubuh lebih cepat keluar dalam bentuk keringat. Meskipun demikian, para peserta apel, seolah abai dengan suasana cuaca panas nan penuh kepengapan tersebut.
Isi Sambutan ‘Langka’
Di tengah variasi keberpihakan politik para ASN yang ada saat ini, sambutan dengan mengangkat ulasan mengenai Pancasila agak detail, memang relatif langka. Apalagi, jika harus disampaikan secara lisan. Untuk menyampaikan ulasan mengenai Pancasila dalam narasi tutur seperti itu, memang diperlukan pengetahuan yang memadai. Dulu di era orde baru, hanya para pemilik sertifikat penatar P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) saja yang punya kepiawaian berorasi mengenai hal itu. Kini, di era reformasi ini, ada gejala banyak pejabat yang kurang concern mengemukakan hal-hal berbau ideologis tersebut. Tatangan kerja yang semakin menuntut hasil praktis sering membuat pejabat kurang tertarik menyampaikan pembinaan menganai hal-hal yang berbau ideologis karena sering dirasa kurang praktis. Sebaliknya, pembinaan-pembinaan yang disampaikan sering hanya menyinggung seputar etos kerja yang bermuara kepada hasil-hasil praktis dan terukur. Hal-hal yang berbau ideologis sering kurang mendapat menekanan karena di samping hanya bersifat teoretis juga sulit diukur. Akan tetapi, amanat yang disampaikan pembina apel pagi itu, tampaknya mencakup 2 aspek sekaligus, aspek teoretis (ideologis) dan aspek praktis.
Pancasila Sebagai Falsafah Negara
Narasi singkat uraian sambutan yang disampaikan dengan lugas dan gamblang itu pada pokoknya, bahwa Pancasila merupakan falsafah negara yang butir-butir kandungan setiap pasalnya perlu diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Di dalam dinas, selaku ASN, mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan nyata, tidak lain mengimplementasikan seluruh sila Pancasila dalam budaya kerja sehari-hari. Di luar dinas, para ASN harus menjadi teladan di masyarakat dalam bentuk perilaku yang selalu mengacu nilai-nilai luhur Pancasila.
Sebagai ideologi negara Pancasila harus selalu kita jaga. Sebab, selama ini Pancasila telah terbukti ampuh menjadi pemersatu rakyat Indonesia yang terdiri dari aneka macam suku, ras, dan agama. Karena Pancasilalah seluruh rakyat Indonesia–yang tersebar di berbagai penjuru pulau hampir di sepanjang khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke–dapat mengikat diri sebagai satu bangsa di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka pun seolah dengan penuh kebanggaan bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Isi sambutan tersebut, sekalipun singkat, seperti menyegarkan kembali ingatan kita mengenai sepak terjang para pahlawan kemerdekaan sekaligus para arsitek negara yang telah mencurahlan jiwa raganya demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Mereka telah mengajarkan pentingnya untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan. Betapa tanpa persatuan dan kesatuan tidak mungkin merebut kemerdekaan dari tangan penjajah yang sudah ratusan tahun. Fakta membuktian, bahwa perjuangan melawan penjajah yang dilakukan secara sektoral oleh kelompok dan suku tertentu dan tidak terorganisasi dengan baik, tidak pernah mendapatkan hasil gemilang. Pada saat yang sama sistem perjuangan demikian justru hanya menginpirasi penjajah melakukan politik adu domba (divide et impera). Para pendiri bangsa juga mengajarkan, bahwa kekompakan merebut kemerdekaan itu bisa dicapai setelah adanya kesadaran seluruh elemen bangsa berada dalam posisi yang sama: “Duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”. Belajar dari pengalaman demikian, maka pembina apel menekankan pesan penting “bahwa seluruh elemen bangsa tidak boleh ada yang merasa paling hebat dan karenanya merasa harus diperlakukan paling istimewa, melainkan harus berada dalam posisi yang egaliter dan tetap dalam satu visi mewujudkan kehidupan yang penuh keadilan dan kemakmuran tetapi tetap dalam keyakinan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.
Penanaman nilai-nilai Pancasila demikian tentu sangat urgen saat generasi muda mulai terjebak pada pragmatisme kehidupan. Bahkan, sudah ada gejala mengarah kepada kehidupan hedonis. Banyaknya para peserta yang lemah dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) pada tes penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama ini, menjadi salah satu indikasi mengenai hal itu. Bahkan, banyak generasi muda, yang berpendidikan sekalipun, yang saat ini gagal memberikan jawaban atas pertanyaan tentang hubungan agama dan negara, atau konkretnya posisi “ajaran agama”, di satu pihak dengan eksistensi “Pancasila”, di pihak lain. Ketika 2 hal ini (agama dan Pancasila) disandingkan dan dibuat dalam pertanyaan jebakan, banyak yang menjawab secara mengejutkan, yaitu “memilih agama” dengan alasan agama berasal wahyu sedangkan Pancasila hanya buatan menusia. Dalam konteks berbangsa dan bernegara menarasikan jawaban yang demikian tentu sangat keliru.
Bahkan, stigma negatif pun, seperti “terpapar paham radikal”, kemudian disematkan kepada pemilik jalan pemikiran demikian. Mengapa? Agama dan Pancasila adalah dua entitas yang berada dalam posisi yang berbeda. Benar, agama memang dari Tuhan dan kerenanya bersifat absolut. Justru posisinya yang demikian tidak layak disejajarkan dengan Pancasila. Atau, dengan tegas dapat dikatakan, bahwa Agama dan Pancasila adalah 2 hal yang tidak bisa dipertentangkan. Tetapi, keduanaya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena Pancasila sendiri mengakui eksistensi agama. Bukti pengakuannya, dalam bentuk pengakuan terhadap eksistensi Tuhan. Bahkan pengakuan eksistensi Tuhan ini dalam Pancasila menempati posisi yang paling ringgi, yaitu sebagai sila pertama dan berikut sila pertama ini justru juga menjadi inspirasi bagi empat sila berikutnya.
Kesadaran cara berfikir demikian tentu perlu terus ditanamkan kepada para generasi muda, lebih-lebih para ASN yang memang harus bekerja selain sebagai pelayan masyarakat yang tidak boleh dilupakan ialah sebagai pelopor menunjukkan bakti kepada bangsa dan negara. Setiap ASN merupakan sebagian rakyat yang dipercayai untuk mengurus negara dan oleh karennya negara memberikan imbalan berupa gaji dan fasilitas lainnya. Dengan posisinya yang demikian seorang ASN tentu wajar dituntut menunjukkan loyalitasnya kepada negara. Loyalitas kepada negara ini tentu harus total, yaitu loyal terhadap negara sekaligus terhadap segenap sistem yang telah dibuat berdasarkan konstitusi dan segenap aturan yang telah dibuat oleh lembaga yang berwenang. Dalam konteks demikian sungguh ironi, jika ada ASN yang satu sisi tetap mempertahankan eksistensinya sebagai ASN, berikut menerima gaji dan fasilitas, tetapi sepak terjangnya (jalan pikiran, perkataan, dan perilaku) tidak sejalan dengan visi negara. Dan, representasi negara itu, dalam dalam kehidupan kongkret ASN, tidak lain adalah pemerintah yang sah, yang telah ditetapkan berdasarkan mekanisme yang sah pula (konstitusional), siapa pun oragnya dan (diusung) dari mana pun partainya. Itulah makna sambutan pembina apel, jika dipahami secara kontekstual. Terima kasih, kami (para peserta apel) telah diingatkan mengenai sesuatu yang penting sehingga sambutan itu pun layak disebut sebagai “Amanat Penting Sang Ketua”. Dirgaharyu Pancasila!