JAKARTA, Beritalima.com– Legislator dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur, Amin Ak mengingatkan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait risiko fiskal jangka panjang karena kebijakan belanja dan pendapatan negara yang diambil. Jangan sampai Pemerintahan Jokowi gagal mempertahankan stabilitas fiskal yang dapat menyebabkan ketidakmampuan memberikan layanan baik kepada masyarakat dalam jangka panjang.
Hal itu disampaikan Amin menanggapi pertanyaan Beritalima.com terkait kian membesarnya jumlah utang pemerintah pada kuartal III 2020 ini. Sampai saat ini pemerintah masih saja mempertahankan proyek-proyek ambisius yang sejatinya bisa ditunda hingga kondisi keuangan negara lebih baik.
Contoh proyek tol trans Sumatera tahap I yang membutuhkan tambahan dana Rp80 triliun. Dana itu diusulkan diambil dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). PT Hutama Karya yang bertanggungjawab terhadap pembangunan tol Trans Sumatera itu meminta pemerintah mengucurkan PMN secara bertahap hingga 2023.
Rinciannya Rp 15 triliun di 2021, Rp 30 triliun di 2022 dan Rp 35 triliun di 2023. “Infrastruktur penting, namun karena kondisi keuangan negara yang sedang berat dan utang yang makin menumpuk, proyek ini bisa ditunda karena untuk saat ini bukan prioritas,” tegas Amin.
Lebih lanjut anggota Komisi VI DPR RI membidangi Perdagangan dan Industri tersebut menegaskan, Pemerintah semestinya memiliki rasa rihatin terhadap krisis saat ini karena pandemi Covid-19 belum berakhir ditambah ekonomi saat ini masuk ke jurang resesi.
Politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai, Pemerintah juga kurang berani menyisir dan memotong anggaran belanja masing-masing kementerian yang mestinya bisa ditunda demi penghematan.
“Kecuali belanja pemerintah yang bertujuan menstimulus konsumsi publik dan menggerakkan ekonomi nasional, serta penguatan ketahanan pangan dan energi,” kata dia.
Sebagaimana disebutkan Kementerian Keuangan, utang pemerintah per September 2020 mencapai Rp 5.756,87 triliun, melesat lebih dari Rp 1.000 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Rasio utang terhadap produk domestik bruto pun meningkat dari 30,5 persen 2019 menjadi 38,5 persen terhadap PDB 2020.
Dalam dua pekan terakhir, Pemerintahan Jokowi kembali menambah utang lewat mekanisme pinjaman bilateral masing-masing Rp9,1 triliun dari Jerman, Rp15,4 triliun dari Australia, dan Rp6,9 triliun dari Jepang.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, jumlah itu kurang dibanding angka defisit APBN yang melonjak menjadi Rp 1.039,2 triliun atau setara 6,34 persen terhadap PDB yang sebelumnya ditargetkan di level 1,76 persen atau setara Rp 307,2 triliun.
Defisit melebar karena kebutuhan belanja negara yang meningkat menjadi Rp 2.739,16 triliun.
Pemerintah memproyeksi rasio utang terhadap PDB berpotensi mencapai lebih dari 40 persen pada tahun depan seiring defisit anggaran yang masih lebar akibat Pandemi Covid-19.
Terkait posisi utang luar negeri, Bank Indonesia beberapa hari lalu menyebut terjadi peningkatan sebagian rasio risiko. Rasio Utang Luar Negeri terhadap Ekspor 2020 mencapai 207,16 persen, bandingkan dengan akhir 2019 (177,50 persen), akhir 2014 (139,46 persen).
Rasio utang luar negeri terhadap PDB tahun 2020 mencapai 38,13 persen 2019 mencapai 36,07 persen dan 2014 mencapai 32,95 persen. Kenaikan jumlah utang juga diikuti naiknya bunga utang. Sebagai perbandingan, 2005, bunganya Rp65,1 triliun, kemudian merangkak naik menjadi Rp275,52 triliun (2019) dan Rp373,3 trilun (2021).
Karena itu, Amin mengingatkan, tingginya cicilan utang pada akhirnya akan berdampak berkurangnya kemampuan ekspansi fiskal, padahal penanganan dampak pandemi masih jauh dari kata berhasil. Menurunnya ekspansi fiskal akan membuat pengembangan belanja modal yang sangat diperlukan untuk percepatan pemulihan ekonomi menjadi rendah. “Kedua kalau defisit cukup besar dalam waktu tertentu, akhirnya membuat kondisi keuangan kita semakin tipis. Kemampuan ekonomi untuk menciptakan pendapatan pun semakin berat,” demikian Amin AK. (akhir)