JAKARTA, Beritalima.com– Legislator Komisi VI DPR RI, Amin Ak menilai, rangkap jabatan Direksi dan Komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencederai etika publik dan kontraproduktif terhadap upaya perbaikan pelayanan publik dan tata kelola BUMN yang baik (Good Corporate Governance).
Rangkap jabatan itu, papar wakil rakyat dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur dalam keterangan tertulis yang diterima awak media, Ravu (24/3) malam, juga menabrak Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang juga berdampak kepada tidak profesionalnya pelaksaan tugas mereka.
Karena itu, Amin mengapresiasi penyelidikan yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU menemukan 62 orang pejabat BUMN baik direksi maupun komisaris merangkap jabatan di perusahaan non BUMN.
Jumlah itu baru meliputi BUMN yang bergerak sektor keuangan, asuransi, investasi, pertambangan dan infrastruktur. Karena itu, Amin mendukung KPPU melanjutkan penyelidikan untuk sektor-sektor lainnya.
Politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di komisi membidangi Perdagangan dan Perindustrian termasuk BUMN ini meyakini jika praktek rangkap jabatan tidak hanya terjadi di tiga sektor itu. Karena itu, Amin berharap Kementrian BUMN segera menindaklanjuti temuan itu dengan langkah nyata demi perbaikan kinerja BUMN. “Ini luar biasa. Ada yang merangkap 22 jabatan. Potensi konflik kepentingan dan pelanggaran terhadap penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat sangat tinggi.”
Agar BUMN dapat mencapai tujuan pendiriannya, proses seleksi direksi dan komisaris harus mengedepankan azas profesionalisme dan integritas, bukan dengan pendekatan politik yang berujung pada bagi-bagi jabatan.
Amin mencontohkan pengabaian terhadap UU No: 19/2003 tentang BUMN. Pasal 33 disebutkan, “Anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: a. anggota Direksi BUMN, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Swasta dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau b. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Pasal ini melarang komisaris BUMN merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.”
Dikatakan Ketua Pokja Komisi IV DPR RI Fraksi PKS, dewan komisaris berperan penting dalam penerapan good corporate governance dengan menjalankan peran pengendalian dan pengawasan secara efektif. Jika jabatan komisaris BUMN diserahkan kepada swasta, dikhawatirkan dapat melemahkan pengawasan Pemerintah atas perusahaan pelat merah dan mendorong liberalisasi BUMN.
“Lemahnya tata kelola dan pengawasan merupakan dua hal yang harus menjadi prioritas dalam membenahi BUMN saat ini. Masih banyaknya kasus korupsi dan penyelewengan di tubuh BUMN, termasuk megaskandal Jiwasraya dan Asabri adalah buktinya,” beber Amin.
Dalam konteks etika pelayanan publik, UU No: 25/2009 tentang Pelayanan Publik, khususnya Pasal 17 jelas dilarang adanya rangkap jabatan pada pelaksana pelayanan publik baik sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha. Karena BUMN tidak hanya berorientasi profit, juga menjalankan misi pelayanan publik. Aturan itu juga berlaku pada BUMN dan BUMD.
Amin menolak pendapat yang mengatakan praktik rangkap jabatan di level direksi dan komisaris perusahaan pelat merah tidak bisa dihindari. Konsep “Talent Pool” yang digunakan Kementerian BUMN semestinya mudah bisa menemukan sosok sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan dan mereka bersedia tidak merangkap jabatan di entitas usaha lain.
“Kalau perlu, panggil pulang WNI yang berkiprah di berbagai perusahaan di luar negeri. Ajak mereka membangun negeri ini, dan rasanya kompensasi gaji dan fasilitas yang diberikan negara bagi direksi dan BUMN sangat memadai kok,” demikian Amin Ak. (akhir)