JAKARTA, Beritalima.com– Selama ini Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mampu bertahan dari hantaman badai krisis yang melanda perekonomian Indonesia. Bahkan disebut-sebut pelaku UMKM lah yang menyelamatkan Indonesia dari hantaman krisis.
Namun, wabah pandemi virus Corona (Covid-19) yang melanda negara-negara di dunia ditambah dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat UMKM ikut rontok. Padahal menurut data, pelaku UMKM menyedot lebih dari 90 persen tenaga kerja.
Namun, realisasi bantuan modal kerja dari Pemerintah buat para pelaku UMKM melalui penyaluran kredit oleh bank pelat merah tidak berjalan sesuai harapan. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi.
Pertama, ungkap anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak dalam keterangan dia yang diterima Beritalima.com, Kamis (27/8), minimnya pendampingan dan pembinaan UMKM terutama dalam konteks pemulihan pasar dari produk mereka.
Kedua, program bantuan hanya terfokus kepada restrukturisasi kredit semata, sehingga bank-bank penyalur terkesan asal menggugurkan kewajiban saja.
Akibatnya kebijakan yang baik dan diharapkan menjadi solusi menghindari resesi ekonomi tidak menyentuh akar permasalahan para pelaku UMKM.
Dikatakan wakil rakyat dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur itu, bantuan modal kerja memang diperlukan. Namun, kesulitan mendapatkan pasar akibat turunnya daya beli masyarakat merupakan hal yang jauh lebih berat buat para pelaku UMKM.
Menurut Amin, jika modal kerja diibaratkan pertolongan pertama lewat bantuan pernafasan, maka pemulihan pasar merupakan pertolongan lanjutan agar pelaku UMKM bisa bangkit dan survive.
“Agar bisa survive dan kemudian bangkit usahanya, maka pemerintah harus mampu memfasilitasi pemulihan pasar mereka. UMKM butuh panduan agar bisa shifting ke produk-produk yang banyak dibutuhkan konsumen,” kata dia.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi&Usama Kecil Menengah, jelas Amin, saat ini dari 64 juta pelaku usaha kecil dan menengah yang ada di Indonesia, 80 persen atau sekitar 51 juta di antaranya masih unbankable (nasabah simpanan) atau tidak mendapat bantuan pinjaman dari bank sehingga pelaku UMKM yang disasar pemerintah terlampau kecil.
Ada bantuan Presiden Rp2,4 juta untuk 12 juta pelaku UMKM. Namun, proses verifikasi dan validasinya tidak mudah, apalagi dalam waktu singkat.
Karena itu, Amin berharap Pemerintah mau ‘jemput bola’ agar penerima bantuan betul-betul UMKM yang memang membutuhkan dengan tolak ukur yang jelas.
“Pemerintah menggelontorkan Rp30 triliun kepada bank-bank BUMN agar disalurkan ke UMKM. Namun, outcome-nya harus jelas karena program ini menggunakan uang rakyat,” kata Amin.
Permasalah berikutnya menurut Amin, restrukturisasi kredit saja tidak cukup karena persoalan yang dialami UMKM akibat pandemi itu sangat kompleks. Restrukturisasi kredit hanya efektif buat pelaku UMKM yang memiliki persoalan keuangan berat dan usahanya masih bisa berjalan dengan suntikan modal.
Namun, kebanyakan pelaku UMKM dampak dari pandemi Covid 19 dan PSBB yang diberlakukan Pemerintah adalah kehilangan pasar karena turunnya daya beli masyarakat.
“Yang lebih memprihatinkan lagi, bank-bank BUMN mempersyaratkan debitur melunasi utang lama mereka terlebih dahulu agar bisa memperoleh kredit baru. Ini jelas nggak menyelesaikan persoalan dan terkesan nyari aman. Padahal bank-bank tersebut juga harus bersama-sama aktif meminimalisir risiko,” demikian Amin Ak. (akhir)