Amin:Pertamina Rugi Akibat Kebijakan Pemerintahan Yang Tidak Konstitusional

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Legislator dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur, Amin Ak mengatakan, penyebab utama yang mengakibat PT Pertamina menderita kerugian besar semuanya berpangkal kepada kebijakan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tidak sesuai dengan konstitusi, aturan dan Pinsip Good Corporate Governance (GCG).

Itu dikatakan Amin dalam keterangan pers kepada Beritalima.com, Selasa (15/9) menanggapi laporan keuangan semester I/2020 PT Pertamina yang disampaikan Emma Sri Martini, Direktur Keuangan perusahaan plat merah itu pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, 26 Agustus lalu.

Berdasarkan Laporan Keuangan semester I/2020 PT Pertamina rugi US$ 767.92 juta atau sekitar Rp11,33 triliun (kurs 1 US$ = Rp14.766). Hal itu merupakan kemunduran cukup signifikan dibanding periode yang sama 2019 yang pada saat itu Pertamina melaporkan laba US$ 659.96 juta atau setara Rp9,7 triliun.

Dalam RDP itu, Emma menjelaskan tiga faktor utama menjadi penyebab kerugian PT Pertamina yaitu turunnya harga minyak dunia, anjloknya kurs rupiah terhadap US$ dan merosotnya permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Dikatakan, harga minyak turun menyebabkan sektor hulu PT Pertamina merugi, turunnya permintaan BBM akibat Covid-19 menyebabkan sektor hilir merugi. Turunnya kurs berdampak pada tambahan beban keuangan, karena pembukuan Pertamina berbasis US$.

Menanggapi penjelasan Emma, Amin mengatakan, masalahnya bukan ketiga faktor itu yang menjadi penyebab kerugian PT Pertamina. “Ada penyebab lain yang sangat membebani Pertamina. Semuanya berpangkal kepada kebijakan Pemerintah yang tak sesuai dengan konstitusi, aturan dan prinsip Good Corporate Governance (GCG)”.

Pertama, kata politisi senior dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI itu, Pertamina harus membayar Signature Bonus (SB) Blok Rokan US$ 784 juta (sekitar Rp 11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan Blok Rokan adalah hak mandatory PT Pertamina.

Yang lebih runyam, lanjut Amin, meski baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB 2018/2019.
Akibatnya, PT Pertamina harus menerbitkan Surat Utang untuk membayar itu. “Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN), tanpa SB, dan berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021,” beber Amin.

Berikutnya, PT Pertamina harus membeli Minyak Mentah (Crude) domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar US$ 8 per barel (blok Banyu Urip) dan US$ 11 per barel (blok Duri) dibanding ICP crude jenis lain.

Hal ini, lanjut Amin, tampak jelas dari Kepmen ESDM No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan “anomali” perbedaan harga masih sama. Rerata produksi lapangan Banyu Urip 210.000 barel per hari (bph), sedangkan lapangan Duri 170.000 bph.

Jika seluruh produksi minyak kedua blok itu dibeli PT Pertamina, nilai ‘kemahalan’ yang harus dibayar Pertamina (asumsi US$/Rp=14.500, 1 semester = 180 hari) adalah U$ 639 juta atau sekitar Rp 9,25 triliun.
Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100 persen produksi Banyu Urip dan Duri dibeli Pertamina.

Faktor berikutnya, PT Pertamina harus menanggung beban kebijakan populis menjelang Pilpres 2019, sehingga harus menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017. Menurut Emma, akumulasi tanggungan Pertamina dari kebijakan itu Rp96,5 triliun kompensasi dan Rp13 triliun subsidi, total Rp 109,5 triliun.

Karena utang pemerintah Rp109,5 triliun baru dibayar Rp45 triliun tahun ini, PT Pertamina harus menerbitkan Surat Utang. Pertamina menerbitkan bond US$ 750 juta (2018), US$ 1,5 miliar (2019) dan US 3 miliar (2020), pada tingkat bunga (kupon) yang berbeda-beda antara 3,65 hingga 6,5 persen.

Total tambahan surat utang Pertamina 2018-2020 US$ 5,25 miliar. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, beban bunga (cost of money) ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 US$ 210 juta atau sekitar Rp 3 triliun.

Akibat tiga kebijakan pemerintah yang disebutkan diatas, PT Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun. Bila kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan Pertamina sesuai konstitusi dan menerapkan prinsip-prinsip GCG, PT Pertamina tidak rugi.

“Apalagi ditengah menurunnya harga minyak mentah dunia sampai titik terendah belakangan ini dan Pemerintah sampai saat ini tidak menurunkan harga BBM dalam negeri sehingga rakyat mensubsidi PT Pertamina sampai triliunan rupiah,” demikian Amin Ak. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait