Jakarta, beritalima.com| – Lembaga Amnesti Internasional Indonesia (AII) minta adanya pengusutan terkait kematian 10 warga dampak dari unjuk rasa yang beberapa hari berlangsung di akhir Agustus.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam siaran persnya mengatakan, “kami menyesalkan bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa pekan lalu, begitu pula dengan penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali dan dua pendamping hukum dari YLBHI masing-masing di Manado dan Samarinda.”
Jadi, Usman meminta negara harus mengoptimalkan pendekatan pemolisian demokratis, persuasif dan dialog dengan pengunjuk rasa, sebagaimana saran Kantor HAM PBB. Ancaman hukuman hanya memicu eskalasi ketegangan antara kepolisian dan pengkritik. “Mereka berhak berkumpul dan menyampaikan pendapat di depan umum. Itu adalah hak asasi manusia. Sekali lagi, kami mendesak Polri membebaskan Delpedro, Syahdan dan ratusan pengunjuk rasa lainnya yang ditangkap hanya karena bersuara kritis sejak 25 Agustus,” ujarnya.
Kritik lainnya diutarakan Usman, “kami mengecam keras penembakan gas air mata ke arah kampus Unisba dan Universitas Pasundan yang dipakai sebagai posko medis bagi pengunjuk rasa atau menjadi korban kekerasan. Gas air mata itu membahayakan keselamatan warga sipil yang ada di dalam maupun di sekitar kedua kampus tersebut. Penggunaan gas air mata yang berlebihan bisa mengakibatkan luka fatal dan bahkan kematian seperti Tragedi Kanjuruhan.”
Jadi, pihak AII menginginkan investigasi independen melibatkan tokoh dan unsur masyarakat yang memiliki integritas dan keahlian. Komnas HAM harus segera melakukan penyelidikan projustiti atas terbunuhnya sepuluh warga sipil selama aksi unjuk rasa.
AII mempertanyakan pernyataan Presiden dengan label “anarkis”, “makar” atau bahkan “terorisme”. Kepolisian negara berwenang menindak setiap peristiwa pidana namun harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip HAM. Pelabelan “anarkisme”, “terorisme” maupun “makar” berpotensi mengeskalasi pendekatan keamanan dan membenarkan penggunaan kekuatan lebih represif dan eksesif lagi.
“Negara semestinya hadir dengan manusiawi, mendengarkan tuntutan warga, menghormati kebebasan berekspresi, serta menegakkan hukum secara adil. Tanpa itu, pernyataan presiden hari Minggu lalu bahwa ‘negara menghormati dan terbuka terhadap kebebasan penyampaian pendapat dan aspirasi masyarakat’ hanya slogan kosong yang dikubur oleh praktik otoriter melanggar HAM.”
Dari sumber kredibel AII diungkapkan, aktivis HAM yang juga Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, ditangkap paksa delapan orang aparat Polda Metro Jaya di rumahnya sekaligus kantor Lokataru di Jakarta Timur pada Senin malam (1/9) pukul 22.45 WIB. Polisi juga menggeledah ruang kantor Lokataru Foundation tanpa surat penggeledahan dan diduga merusak kamera CCTV kantor.
Selain Delpedro dibawa paksa, polisi tidak membolehkannya menggunakan ponsel untuk menghubungi siapapun, termasuk pengacara dan keluarganya. Di markas Polda Metro Jaya Delpedro lalu dijadikan tersangka, dijerat sejumlah pasal, yaitu Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 15, 76 H, dan 87 UU Perlindungan Anak , serta Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang pemberitahuan bohong.
Di Bali, darilaporan AII, pada hari yang sama, akun @gejayanmemanggil @basuara @bangsamahardika dan @pasifisstate di Instagram mengumumkan aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein, ditangkap oleh Polda Bali. Namun Polda Bali kepada media hari Selasa (2/9) membantah adanya penangkapan tersebut.
Lalu Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut ada penangkapan disertai kekerasan terhadap dua aktivis di Manado dan Samarinda, saat memberi pendampingan hukum untuk massa aksi demonstrasi. Polresta Samarinda memeriksa aktivis itu dan akhirnya dibebaskan dengan syarat. Sedangkan Polresta Manado kepada media membantah kabar penangkapan.
Sebelumnya Polda Metro Jaya menangkap mahasiswa Universitas Riau bernama Khariq Anhar di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang (29/8) terkait unggahan di media sosial terkait dengan demonstrasi massa buruh. Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mencatat Khariq diduga ditangkap tanpa prosedur sah, bahkan diduga dilakukan secara kekerasan dengan dipiting tubuhnya dan dipukul wajahnya oleh aparat Polda.
Khariq lalu ditetapkan polisi sebagai tersangka terkait unggahan akun “Aliansi Mahasiswa Penggugat” pada 27 Agustus 2025 dengan dijerat Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 35 UU ITE karena dianggap mengubah konten jurnalistik dari sebuah media online yang memuat pernyataan Ketua KSPI Said Iqbal.
Jurnalis: rendy/abri






