Pelaksanaan CSR perlu diatur sehingga tidak hanya sekedar bantuan sosial, tapi mampu memandirikan masyakarat. Hal itu disampaikan Anggota Komisi VIII DPR RI, Amrullah Amri Tuasikal kepada wartawan saat kunjungan kerjanya ke Balikpapan, belum lama ini.
Amri juga menjelaskan, banyak masukan dari berbagai kalangan, khususnya para akademisi, agar Indonesia sebaiknya punya definisi CSR sendiri menyesuaikan dengan konteks permasalahan di Indonesia. Sejauh ini, CSR yang diadopsi perusahaan Indonesia menggunakan Community Involvement and Development yakni kebijakan perusahaan untuk kegiatan sosial.
Lebih lanjut menurut Amri, pemerintah dirasa perlu untuk membuat aturan yang jelas sebagai acuan untuk perusahaan dalam melaksanakan CSR. CSR dilakukan untuk memenuhi biaya pemberdayaan masyarakat, untuk itu diperlukan social mapping yang melibatkan Pemerintah daerah.
“CSR itu perlu aturan yang jelas, dibuat road map sehingga program ini dibuat untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Dan harus ada laporan. Dan terakhir buat payung program yang memayungi program-program CSR, sehingga semua program CSR menjadi terarah. Selain itu, juga harus memakai data kemiskinan,” tambahnya.
Amri yang berasal dari Daerah Pemilihan Maluku ini, mencontohkan dapilnya yang belum terlihat jelas pelakasanaan CSR dari perusahaan yang ada di Maluku, menurutnya, mestinya CSR perusahaan perikanan misalnya dapat memprioritaskan CSRnya untuk pengembangan kapasitas masyarakat pesisir disektor perikanan dan kelautan
“Jika yang dilakukan melalui CSR itu diseuaikan dengan kebutuhan dan karakter masyarakatnya maka upaya pengentasan kemiskinan pun dapat berjalan. Pengentasan orang miskin selama ini keliru, karena orang miskin dibantu menjadi tidak mandiri. Yang cocok pengentasan adalah pengangguran. Contoh CSR tanam pohon, tetapi setelah acara berakhir, berakhirlah semua. Apakah CSR yang seremonial yang Indonesia inginkan. Tanam pohon, tidak diurus akhirnya mati,” ujar Amri
Sekedar catatan, pelaksanaan CSR di Indonesia masih berbeda-beda mulai dari definisi, tanggungjawab dan tujuannya. Saat itu terdapat sekitar 35 PP di daerah yang mengatur tentang CSR dan lingkungan, sayangnya tidak selalu meningkatkan efektifitas CSR. Seharusnya program CSR tidak hanya memberikan manfaat kepada masyakarat tetapi juga kepada perusahaan pelaksana CSR itu.
Beberapa isu kritis yang mengemuka adalah bentuk jelas dari CSR antara lain yang berkaitan dengan sasaran program CSR, dan pihak yang disebut masyakarat dinilai hanya berdasarkan letak geografis dan CSR, padahal seharusnya mampu mendorong pembangunan yang tidak tumpang tindih dan CSR tidak memberi beban baru kepada perusahaan.
“Saya melihat sejumlah perusahaan di daerah yang program CSRnya tidak terkoordinasi dengan baik, hal ini karena aturan yang kurang mengikat. Selain itu, Ia menilai program CSR perusahaan yang sudah berjalan sejauh ini tidak membangun kualitas SDMnya, sehingga masyarakat tetap sulit mempertahankan kehidupan”, jelas Amri
Dirinya berharap agar pelaksanaan program CSR tidak bertentangan dengan keinginan masyarakat, melainkan dapat meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat (*)