JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Panitia Kerja (Panja) Pupuk DPR RI, Dr H Andi Akmal Pasluddin mengatakan, sudah waktunya Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengkaji ulang guna mengalihkan subsidi pupuk menjadi subsidi harga.
“Subsidi pupuk ini awalnya dilakukan pada periode kedua Pemerintahan Orde Baru dengan tujuan swasembada pangan. Swasembada tercapai 1984 dan tahun-tahun berikutnya, Indonesia bebas dari ketergantungan impor bahan pangan pokok.
Namun, memasuki era reformasi, mulai dari Pemerintahan Presiden KH Abdurachman Wahid (Gus Dur), pindah ke Megawati, berlanjut ke Prof Dr H Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai saat ini ke Jokowi, subsidi pupuk tetap berjalan.
Tetapi, belakangan ini walau subsidi pupuk semakin besar tetapi tujuan swasenbada pangan tersebut tidak pernah tercapai. Yang terjadi malahan sebaliknya, impor pangan terus mengalami peningkatan yang signifikan.
“Karena itu, sekarang adalah waktu mengkaji ulang subsidi pupuk. Malah bila perlu mengalihkan subsidi pupuk menjadi subsidi harga” ungkap Andi Akmal kepada Beritalima.com, Senin (2/8) malam.
Legislator dari Dapil II Provinsi Sulawesi Selatan di Komisi IV DPR RI yang membidangi Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Lingkungan Hidup (LH) itu mengatakan, memang mengalihkan sebuah kebijakan mesti ada kajian mendalam yang melibatkan banyak pakar baik akademisi maupun praktisi.
AS dan beberapa negara eropa yang memilih subsidi di output daripada di input.
Karena itu, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI tersebut mendorong agar pemerintahan Jokowi mulai mengkaji alokasi subsidi pada sektor pertanian dari yang mulanya berbasis input menjadi subsidi output demi menekan risiko anjloknya harga produk pertanian pada masa panen yang selama ini merugikan petani.
Menurut Andi Akmal, langkah ini bisa saja diuji pada satu wilayah sentra penghasil produk pertanian sehingga risiko yang ditimbulkan bila meleset tidak terlalu besar. Bila semakin mendorong peningkatan produk pertanian, menghilangkan dampak penyelewengan karena efektifitas anggaran subsidi yang tepat sasaran, tentu kebijakan ini mesti menjadi alternatif menggantikan subsidi pupuk yang angkanya selalu di atas angka APBN Kementerian Pertanian (Kemeentan).
Ditambahkan, Anggaran Kementan sejak era pemerintahan Jokowi terus menurun, dari Rp 32.72 triliun, pada tahun berikutnya berturut-turut menjadi Rp 27.72 triliun, Rp 24.23 triliun, Rp 23. 90 triliun, Rp 21.71 triliun, Rp 21,05 triliun, Rp 15,51 triliun, dan kini pagu indikatif 2022 Rp 14,51 triliun.
Terus turunnya anggaran Keementan, juga diikuti turunnya subsidi pupuk meski angka subsidi pupuk terus lebih tinggi dari APBN Kementan.
Karena itu, Andi Akmal menyarankan, mesti ada solusi yang tepat dimana setiap tahun gelontoran uang negara untuk pupuk subsidi lebih tepat dan tujuan utama tercapai yakni swasembada pangan.
Pupuk yang di produksi PIHC saat ini mahal, sebab utamanya karena dalam memproduksinya, bergantung kepada gas sebagai bahan baku yang mahal. Gas kan barang yang tidak dapat terus ada.
“Sampai saat ini, PIHC belum mampu menjawab tantangan itu, sehingga anggaran pupuk subsidi yang di alokasikan dari APBN puuhan triliun tiap tahun hanya menjawab kebutuhan 34% petani seluruh Indonesia”, ungkap Andi Akmal.
Dijabarkan, setiap ia berkunjung ke daerah pemilihan dan bertemu dengan petani yang selalu dikeluhkan bukannya nggak ada pupuk, tapi yang nggak ada itu pupuk bersubsidi yang harganya memang terjangkau.
Tapi, lanjut Akmal, sudah puluhan tahun petani kita ini tidak mampu berkompetisi secara global karena subsidi input yang sulit dikendalikan ketika sudah menyangkut distribusi.
Dia punya keyakinan, subsidi harga atau output, akan meningkatkan daya kompetisi petani. Tujuan petani akan terpacu pada jumlah produksi yang baik dengan mutu yang baik.
“Jaminan pasar dan harga yang sesuai akan di kondisikan pemerintah dengan alokasi subsidi harga. Ini selain sangat tepat pemberian subsidi, juga sangat efisien untuk mengurangi penyimpangan,” demikian Dr H Andi Akmal Pasluddin. (akhir)