JAKARTA, Beritalima.com | Andi Samsan Nganro, namanya disebut-sebut bakal melaju ke kursi Ketua Mahkamah Agung, menggantikan Hatta Ali yang pensiun sebagai hakim agung pada Selasa, 7 April 2020, saat berusia 70 tahun. Andi Samsan Nganro seorang figur yang dikenal sebagai pembela pers.
Ia pernah menjatuhkan putusan mengejutkan, menyatakan Aliansi Jurnalis Independen berhak mewakili wartawan melakukan gugatan. Keberpihakannya kepada pers membuatnya mendapat penghargaan Suardi Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen pada 2003. Ia menilai wartawan dan hakim mempunyai persamaan prinsipal, bekerja atas dasar kemandirian.
Andi Samsan Nganro lahir di Sengkang, Sulawesi Selatan, 2 Januari 1953, anak sulung dari tiga bersaudara. Pada masa kecil ia sebenarnya bercita-cita menjadi pegawai pemerintah karena terinspirasi ayahnya yang menjabat kepala desa dengan alasan untuk dapat terus berdekatan dengan rakyat.
Namun, setelah masuk Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada 1973 keinginannya menjadi aparat pemerintah akhirnya memudar. Ia menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 5 tahun. Akhirnya Andi bergabung di lembaga bantuan hukum (LBH) Makassar yang memungkinkan dia bersentuhan langsung dengan dunia peradilan.
Andi gabung di LBH itu hampir dua tahun dan menangani banyak jenis perkara dari perkara rakyat kecil hingga perkara kontroversial. Seperti kasus penghinaan Presiden Soeharto yang dilakukan oleh Ketua Dewan Mahasiswa Institut Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Makassar.
Dari pengalamannya berjuang bersama membantu rakyat kecil, Andi akhirnya berminat mendaftar sebagai hakim.
Kariernya sebagai hakim dimulai ketika Andi menjabat hakim di Pengadilan Negeri Ujung Pandang atau Makassar pada 1979 hingga empat tahun. Kemudian ia dipindahtugaskan ke Pengadilan Negeri Sia-Sio, Maluku Utara selama empat tahun juga.
Pada 1987 Andi dipindah lagi ke Pengadilan Negeri Tanahgrogot, Kalimantan Timur. Di pengadilan ini ia menangani sedikit perkara karena tempatnya memang di pedalaman yang kemudian dimanfaatkannya untuk menulis berkaitan penagakan hukum. Tak jarang buah karya tangannya dimuat di media nasional seperti Kompas atau Suara Pembaruan.
Tulisan Andi berjudul Mengintip Berbagai Tantangan di Celah-celah Tugas Peradilan Sang Hakim berhasil menyabet juara II Lomba Penulisan Ilmiah di bidang hukum yang diselenggarakan majalah Kartini dan majalah Forum Keadilan.
“Seorang hakim yang sedang marah bisa menghukum orang yang tidak bersalah, sedangkan jika dalam keadaan bergembira, ia bisa membebaskan orang yang bersalah atau menghukum ringan penjahat kelas kakap, adapun jika sedang lapar, ia gampang hilang kemandiriannya dengan membantu yang memberinya makan,” kata Andi Samsan Nganro dalam sebuah kesempatan. Ia menjadikan ungkapannya ini sebagai pegangan dalam bekerja sebagai hakim.
Usai dari Tanahgrogot, Andi mendapat tugas menjadi hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan sekaligus sebagai humas pengadilan. Peran ini terus berlanjut hingga di dipindahkan ke Pengadilan Negeri Samarinda. Inilah awal mula kedekatan hubungannya dengan wartawan karena sering bertemu dan memberikan pandangan.
Pada tahun 2000, Andi akhirnya memasuki ibu kota dengan bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bukan hanya hakim dan humas, di pengadilan ini ia mendapat banyak tantangan dengan menangani kasus yang sangat populer. Seperti kasus pengibaran bendera Papua Merdeka dan pelanggaran HAM sampai kasus yang melibatkan orang-orang ternama seperti Tommy Soeharto, Probosutedjo, dan Akbar Tandjung.
Andi juga sempat memegang perkara dengan istilah baru di Indonesia, yaitu gugatan citizen lawsuit (gugatan warga negara) dalam kasus imigran di Nunukan. Dalam putusannya, Andi memenangkan gugatan tersebut dan menyatakan pemerintah bersalah karena dinilai belum maksimal dalam melindungi tenaga kerja migran.
Kemudian, gugatan kasus kehilangan kendaraan di lahan parkir yang dikelola oleh Secure Parking. Dalam hal ini, putusan dianggap cukup berani dengan memenangkan gugatan. Putusan tersebut menurutnya agar pengelola parkir tahu diri juga, bahwa mereka tidak boleh berlindung semata-mata pada aturan formal dalam karcis yang menyatakan pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan atau kerusakan.
Pada tahun 2006, Andi ditugaskan dii Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan jabatan Ketua Pengadilan. Di sini ia menangani kasus praperadilan SKP3 Soeharto dan kasus suap yang melibatkan dua warga PN Jakarta Selatan yakni hakim Herman Allositandi dan panitera Andry Djemi Lumanauw.
Dalam menangani kasus yang mendera para hakim tersebut, Andi berusaha tetap profesional dan menganggap bahwa ini merupakan bukti tidak ada seorangpun yang kebal hukum di Indonesia. Bahkan, menurutnya penegak hukum seperti hakim melakukan pelanggaran maka harus mendapat hukuman yang lebih berat.
Andi pernah menyatakan prihatin terhadap awak media yang cenderung lebih suka mengekspos hal-hal buruk dari pengadilan. Dalam pandangannya, media seharusnya berimbang dalam melakukan pemberitaan. Artinya, secara fair, media seharusnya juga berkenan memberitakan apabila ada prestasi yang diraih oleh dunia peradilan.
“Namun, menurut hemat saya, kalau dunia peradilan disorot bukan berarti mereka tidak suka tetapi justru mencintai. Profesi hakim adalah pekerjaan yang strategis karena banyak disorot dan banyak dibicarakan orang,” kata Andi.
Pada akhir 2018, Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mengangkat Hakim Agung Andi Samsan Nganro menjadi juru bicara MA menggantikan Suhadi yang harus konsentrasi sepenuhnya sebagai Ketua Kamar Pidana (MA) berdasarkan surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 279/KMA/SK/XII/2018.
1979 Calon hakim PN Ujung Pandang/Makassar, Sulawesi Selatan1983 Hakim PN Sia-Sio, Maluku Utara1986 Hakim PN Tanahgrogot, Kalimantan Timur1989-1994 Hakim PN Balikpapan, Kalimantan Timur1994-1997 Hakim PN Samarinda, Kalimantan Timur1997 Ketua PN Tenggarong, Kalimantan Timur2000 Hakim PN Jakarta PusatAkhir 2003 Ketua PN CibinongAwal 2006 Ketua PN Jakarta SelatanHakim Agung sekaligus Jubir Mahkamah Agung RI.
Fredi Andi, Beritalima.com