JAKARTA, Beritalima.com– Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, pemuda, olah raga, budaya, parawisata dan ekonomi kreatif menemukan nomenklatur lucu atau aneh dan tidak lazim dalam anggaran pendidikan.
Nama nomenklaturnya ‘Dana Transfer Umum Yang Diperkirakan Untuk Pendidikan’. Tahun lalu dialokasikan dalam nomenklatur itu Rp 168 Triliun. Dan, untuk 2020 nomenklatur yang sama muncul dengan anggaran Rp 260 triliun.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Abdul Fikri Faqih ketika menjadi pembicara dalam Forum Legislasi dengan tema ‘UU No: 14/2005 Sejahterakan Guru’ di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/11).
Selain mempertanyakan pemberian nama nomenklatur anggaran tersebut, wakil rakyat dari Dapil IX Provinsi Jawa Tengah tersebut mempertanyakan ke mana isi anggaran dari nomenklatur ini.
Besaran anggarannya, kata pria kelahiran Tegal, 17 Juli 1963 tersebut, cukup untuk membantu pembiayaan bidang pendidikan. “Kalau dibuka lagi ada dana dengan nomenklatur lucu, yaitu ‘Dana Transfer Umum Yang Diperkirakan Untuk Pendidikan.” jelas yang sudah dua periode menjadi anggota Komisi X DPR RI.
Periode lalu, Kemendikbud selalu mengeluhkan anggaran pendidikan yang kurang untuk membantu para guru honorer. Padahal, kata dia, selain ada di nomenklatur lucu tadi, anggaran pendidikan sudah otomatis tersedia 20 persen dari APBN sesuai amant konstitusi.
Mestinya sudah cukup dengan anggaran tersebut. “Dengan afirmasi anggaran pendidikan dalam konstitusi mestinya selesai. Walau pertumbuhan ekonomi cuma 4 persen, kalau alokasinya betul untuk pendidikan, tidak akan ada lagi keluhan dari para guru honorer,” jamin Fikri yang menjadi wakil rakyat berangkat dari dunia pendidikan ini.
Namun, faktanya anggaran pendidikan tidak pernah jelas. Pada 2019 anggaran belanja negara sekitar Rp 2.400 triliun dan 2020 sekitar Rp 2.500 triliun. Tapi untuk Kemendikbud hanya Rp 35 triliun.
“Tahun lalu Rapat dengan Kemendikbud pernah buntu karena tidak ada anggaran. Padahal, di semua negara, anggaran pendidikan dialokasikan dengan cara afirmasi. Tidak peduli kondisi ekonomi susah, tetap 20 persen untuk pendidikan. SDM unggul Indonesia maju susah kalau gurunya menderita,” demikian Abdul Fikri Faqih. (akhir)