Anggota Baleg: RUU Omnibus Law Ancam Sistem Pendidikan Nasional

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Dr H Mulyanto M.Eng menegaskan konten Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) berpotensi merusak sistem Pendidikan Tinggi (PT) di tanah air karena menurunkan kualitas pengajaran sekaligus menghilangkan jati diri kebudayaan Indonesia.

Soalnya, kata anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, dalam draf RUU lebih dari 1.000 halaman itu dihilangkan frase ‘berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia’. Padahal, itu tercantum di Ketentuan Umum Pendidikan Tinggi sebelumnya.

Anggota Komisi VII DPR RI ini menilai, Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlalu obsesif melayani investor sampai mengorbankan bagian penting sistem pendidikan tinggi. UUD 1945, pasal 31 ayat (5) mengamanatkan ‘Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia’.

Selanjutnya, dalam pasal 32 disebutkan ‘Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia’. “Bagaimana negara akan memajukan kebudayan nasional, bila di dalam penyelenggaraan pendidikan nilai-nilai kebudayaan tidak dijadikan sebagai pilar,” tanya Mulyanto.

Dalam keterangan tertulis melalui WhatsApp (WA), Sabtu (2/5) malam,wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut juga menyoroti penghapusan kewenangan Menteri Agama dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan. RUU kontroversial itu tidak menjelaskan siapa selanjutnya berwenang mengelola Perguruan Tinggi keagamaan.

“Ini tentu akan menimbulkan kegaduhan baru. Selama ini pendidikan tinggi keagamaan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) intelektual keagamaan, yang merupakan kelanjutan dari pesantren dan sangat terikat dengan sektor keagamaan. Kalaupun mereka membuka jurusan-jurusan umum, tetapi ruh-nya tetap dalam bingkai keagamaan. Memisahkan keduanya seperti memisahkan ikan dari kolamnya. Pemerintah harus bisa menjelasan alasannya,” tegas Mulyanto.

Hal lain yang disorot Mulyanto dihapuskannya syarat standar minimum akreditasi pendirian PT dan izin penyelenggaraan program studi. Begitu juga dengan perpanjangan akreditasi akan ditiadakan. Ketentuan baru ini memang memudahkan tetapi akan mengorbankan pembinaan mutu PT dan program studi. “Kesannya Pemerintah ingin semua asal jalan dulu. Soal kualitas akan dipikirkan nanti,” terka Mulyanto.

Laki-laki bergelar Doktor lulusan Tokyo Institute Technology (Tokodai) Jepang itu juga menilai, RUU Ciptaker ini terlalu longgar dalam pemberian izin penyelengaraan pendidikan tinggi untuk PT asing. Terlihat dari pasal-pasal yang memudahkan seperti dihapuskannya persyaratan terakreditasi dan/atau diakui di Negara asal PT asing, dihapuskannya prinsip nirlaba, dihapuskannya kewajiban bekerja sama dengan PT Indonesia, mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan lokal serta kewajiban mendukung kepentingan nasional. “Dengan begitu, kita tidak yakin kemanfaatan eksistensi PT asing itu buat upaya pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia. Masalah-masalah itu harus dibahas secara komprehensif, mendalam dan cermat oleh semua pihak yang terkait. Tidak boleh grasa-grusu dan sikap menggampangkan. Kita butuh suasana yang tenang.”

Masak, kata Mulyanto, membahas hal besar seperti ini hanya melalui rapat secara virtual. Sebab, masalah ini berkaitan langsung dengan masa depan bagi generasi muda intelektual kita. “Jika kita tidak seksama membahas pokok masalah tersebut, kita hanya akan menuai kondisi ketidakmampuan Negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD NRI tahun 1945. Ini tentu tidak kita kehendaki,” demikian mantan Inspektur Jenderal Departemen Pertanian (Deptan) tersebut. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait