JAKARTA, Beritalima.com– Palestina negara yang sejak awal mendukung kemerdekaan Indonesia. Karena itu, merupakan kewajiban moral bangsa Indonesia untuk kemerdekaan bangsa Palestina yang dijajah zionis Israel.
“Dan, itu sekaligus amanah konstitusi bangsa Indonesia yang sejak awal punya hubungan historis dengan Palestina,” ungka[ Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Muhammad Anis Matta dalam keterangan pers yang diterima awak media, Minggu (16/5).
Palestina merupakan negara yang sejak awal mendukung kemerdekaan Indonesia. “Karena itu, semangat mereka ada di setiap nafas kita, bangsa Indonesia. Kita mempunyai kewajiban moral, historis dan kemanusiaan menghentikan penindasan zionis Israel atas Palestina,” kata Anis.
Menurut politisi senior ini, sejak awal para pendiri bangsa (foundung fathers) punya misi suci yang memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada seluruh bangsa di dunia serta melenyapkan bentuk penjajahan dari seluruh muka bumi.
“Karena itu, rasa senasib sepenangungan yang dialami rakyat Palestina mengalir deras kepada bangsa Indonesia. Itu sebabnya, memerdekakan Palestina adalah misi konstitusi kita yang sangat suci,” tegas Anis.
Bahkan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung yang digagas Bung Karno, Proklamator sekaligus Presiden RI, menurut Anis, juga bertujuan untuk memerdekakan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika dari penjajahan, diantaranya mendukung kemerdekaan bangsa Palestina.
“Jadi Bung Karno membuat KAA untuk mendorong kemerdekaan negara-negara di Asia-Afrika. Semua negara sudah merdeka, yang paling akhir itu Afrika Selatan. Dan, satu yang terakhir, adalah Palestina. Ini adalah misi terakhir yang harus dituntaskan dalam misi konstitusi kita,” tandas Anis.
Lebih jauh Anis menjelaskan, sejarah awal mula penguasaan lahan atau tanah Palestina oleh zionis Israel yang telah direncanakan kaum Yahudi sejak 100 tahuna lalu, melalui organisasi zionis yang didirikan Theodor Herzl pada 1882.
Herzl ini secara khusus disebut namanya dalam Deklarasi Kemerdekaan Israel dan secara resmi diberi sebutan sebagai ‘bapa rohani Negara Yahudi’ (the spiritual father of the Jewish State).
“Mulanya zionis punya empat pilihan negara untuk menampung kaum Yahudi, yakni Palestina, Argentina, Uganda dan Mozambik. Palestina dipilih karena justifikasi keagamaan akan memudahkan mobilisasi global kaum Yahudi untuk bermigrasi ke Palestina,” kata dia.
Pendirian negara Israel untuk kaum Yahudi di Palestina ini mendapatkan dukungan PM Inggris Arthur Balfour saat berkecamuknya Perang Dunia I dan bertepatan dengan terjadinya peristiwa Holocaust yang dilakukan oleh penguasa Jerman Adolf Hitler.
“Arthur Balfour memberikan dukungan penuh Inggris terhadap misi zionis membentuk negara Israel di Palestina melalui surat ke Rothschild (Patriark Mayer Amschel Rothschild, bankir nomor satu di benua Eropa abad ke-18) saat berkecamuknya Perang Dunia I,” jelas dia.
Rothschild yakin, pasukan sekutu yang didalamnya ada Inggris dan Prancis dapat mengalahkan Ottoman Imperium (Kesultanan Utsmaniyah, Turki) dan membuat perjanjian membagi kekuasaan Ottoman, termasuk wilayah Palestina. Itu dikenal dengan Perjanjian Sykes Picot.
Dalam perjanjian itu, Yerussalam akan dikelola sebagai brown area yang akan dikelola internasional. Namun, akhirnya diambil Inggris 1920. Dalam ruang pergerseran geopolitik ini pengambil-alihan Palestina berlangsung.
“Dukungan Inggris melalui Deklarasi Balfour dan Perjanjian Sykes Picot, serta kemenangan Inggris dan Prancis dalam Perang Dunia I mempercepat ekspansi teritorial dan demografis kaum zionis untuk membentuk negara Israel semakin cepat,” kata Anis.
Akibatnya, jumlah kaum Yahudi pada 1882 hanya 3 persen dari 460.000 penduduk Palestina, dalam kurun waktu 70 tahun menjadi 31,5 persen dari 2.065.000 penduduk di tanah Palestina pada 1948.
“Jadi, zionis terencana secara masif untuk melakukan migrasi ke tanah Palestina sebelum Israel berdiri 1948. Berakibat konflik penguasaan lahan, yang tidak disadari oleh bangsa Palestina dan berujung pada penjajahan,” ujar Anis.
Sayangnya, PBB tak berpihak kepada bangsa Palestina, justru mendukung Israel melalui Resolusi No: 181/1947, yang membagi tanah Palestina menjadi tiga zona, yakni untuk pemerintahan Israel, Palestina dan zona bersama yang dinamakan Al-Quds atau Yerussalem. Namun, akhirnya Al Quds juga dicaplok Israel.
“Singkatnya bila hutang budi, karena tragedi holocaust yang menimpa Yahudi menjadi dasar negara-negara barat mendukung berdirinya negara Israel. Mengapa Palestina yang harus membayarnya? ” tanya Anis.
Lalu, logika apakah membenarkan langkah zionis Israel, yang sebelumnya mendapatkan perlakuan Holocaust di Eropa, justru menjadi pelaku pembataian kaum Muslimin di Palestina.
“Jadi, logika apa yang membenarkan kaum Yahudi menjadi korban pembantaian di Eropa sekonyong-konyong datang ke Palestina dan berbalik menjadi pelaku pembantaian kaum Muslim Palestina?”
Penderitaan rakyat Palestina, lanjut Anis, semakin menjadi-jadi saat mantan Presiden AS mengakui Yerussalem sebagai ibukota Israel 6 Desember 2017.
“Pengakuan Trump terhadap Al Quds, Yerussalem sebagai ibukota Israel menyempurnakan skenario satu abad zionis. Ini sesuai mimpi Bapak Israel, Theodor Herzl. ‘tidaklah sempurna tanpa Al Quds’, Yerussalem,” demikian Muhammad Anis Matta. (akhir)