JAKARTA, Beritalima.com– Tugas mendesak yang harus dikerjakan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjuang untuk mengatasi wabah pandemi virus Corona (Covid-19), menyelamatkan Indonesia dari resesi ekonomi serta dampak yang ditimbulkan.
“Tugas itu sangat berat. Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang tengah dikebut Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama Pemerintah bukan solusi untuk mengatasi krisis,” jelas Dr Hj Anis Byarwati saat menjadi narasumber pada Webinar yang digelar LSM Ruang Publik Riau tentang ‘Fresh Graduate Tak Memiliki Lapangan Pekerjaan’ akhir pekan ini.
Pada kesempatan itu, selain berdiskusi tentang lapangan pekerjaan, peserta juga bertanya tentang RUU Ciptaker yang sedang dibahas di DPR. “RUU Ciptaker bukan solusi dari krisis yang disebabkan pandemi Covid 19. RUU Ciptaker diajukan Pemerintahan Jokowi pada dasarnya untuk meningkatkan investasi dengan cara memberikan kemudahan dalam perizinan,” ulang Anis.
Jika mau meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), Pemerintah harus meningkatkan konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor-impor dan belanja untuk mensejahterakan rakyat. Dari keempat variabel diatas, kontribusi terbesar adalah konsumsi rumah tangga 56-60 persen.
Jika tujuannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ungkap ekonom lulusan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, caranya dengan jalan meningkatkan konsumsi masyarakat. “Harus ada upaya meningkatkan daya beli masyarakat,” tegas Anis.
Cara untuk meningkatkan daya beli masyarakat, lanjut anggota Komisi XI DPR RI membidangi keuangan, perbankan dan pembangunan itu, tak cukup hanya dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Sosial (Bansos) saja. “Harus ada aksi penurunan harga-harga kebutuhan pokok.”
Kenyataan yang ditemukan di lapangan menunjukkan, harga kebutuhan pokok malah mengalami peningkatan. Ditambah melonjaknya Tarif Dasar Listrik (TDL), naiknya harga gas (LPG) 3 kg dan naiknya iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi beban tersendiri untuk rakyat.
Anis menilai, penyebab rendahnya investasi di Indonesia bukan karena masalah perizinan saja, akan tetapi penghambat investasi di Indonesia adalah masalah korupsi dan ketidakpastian hukum yang melingkupinya sebagaimana yang disampaikan World Economic Forum (WEF).
Riset WEF menunjukkan, terdapat 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia dan korupsi menjadi kendala utama. Saat ini Indonesia berada di urutan ke-85 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) 2019 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII).
Anis yang juga anggota Panja Omnibus Law Ciptaker di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memaparkan, proses pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker ini cukup berat dan memakan waktu lama. Draft RUU ini terdiri dari 79 UU dengan 1.244 pasal di dalamnya yang akan dirombak. “RUU ini menyatukan UU diatas menjadi 15 bab dan 174 pasal yang menyasar 11 klaster. “DPR RI harus membahas draft RUU 1.028 halaman itu.”
Karena itu, Anis berpesan agar fresh graduate terus meningkatkan kompetensi baik dari sisi keilmuan, hard skill dan soft skill. Karena mereka akan menghadapi tantangan yang sangat berat.
“Selain bersaing dengan pencari kerja sesama angkatan, mereka juga harus bersaing dengan 15 juta korban Pemutusan Hubungan Pekerjaan (PHK) dampak pandemik yang secara porto folio sudah memiliki pengalaman kerja,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)